Tuesday, June 17, 2008

Catatan Bulan Hati (3)

Rehat menikmati secangkir kopi, menjelang matahari menidurkan diri, ditengah keringnya udara dan seraut pandang hanya gersang tanah yang memainkan mata. Kusimak cara sajinya, seperti biasa, cepat, lugas dan tentu tanpa tawar harga, karena memang sudah sedemikian standar harganya. Secangkir kopi hangat.

Beberapa baris sejajar bis-bis ukuran besar dengan pintu sebelah kanan yang khas, bagian bawah untuk bagasi, sementara untuk penumpang melalui anak tangga, dengan toilet di sebelah pintu, sebuah karoseri yang anggun. Tentu dengan built up seperti itu, sangat jauh beda dengan yang ada di domestik negeriku untuk menyesuaikan dengen selera.

Bukan itu yang menjadi sirat pandangku semata, karena ukuran hasrat hati yang memandang serombongan kafilah dari negara beda, namun bersamaan tujuan dengan arah yang seirama, putih warna memberikan silhoute cahaya menjelang rembang petang yang indah, sejuk dan merengkuh pusat cara pandang, matahati.

Ya, mereka sama denganku
Ya mereka sama dengan perjalananku
Memakai putih
Menjalankan putih
Melantunkan putih

Untuk dioles pada hati dan menebalkan dinding hati, menambal pada kealpaan jalan yang didapat, dan menjahit dengan sulaman ucap yang menggema bersama dan menangiskan hati. Betapa, rasa itu jua yang kembali hadir untuk mengiringi langkah catatan bulan hati ketika rehat rembang petang menggamit catatan untuk dituliskan pada sejumput kisah yang dijalankan pada haramain yang dituju. Duhai, betapa luasnya putihMu yang dipertontonkan pada serombongan kafilahnya dan kafilahku dengan lagu yang sama jua.

Wednesday, June 11, 2008

Catatan Bulan Hati (2)

Sahabat sembilan hari,
Dengan satu garis bawah, bahwa perjalanan kita adalah pertemuan yang mampu mensucikan lengan dan sinar untuk dibagi bersama, diurai bersama dan dinyanyikan dalam satu ruangan dengan Ac Split yang berisik. Masak sih berisik katamu, dan katanya juga, bukankah ini tanah suci yang memiliki segala kekayaan, katamu. Aku hening saja sembari menyelimuti diri dengan semangat terbaru. Apapun itu, perjalanan sembilan hari adalah silaturrahmi akbar yang mampu mempertemukan diri dengan dua sahabat yang mau mengerti tentang kesepahaman.

Kamu masih banyak bertanya sedangkan dia adalah tempat kita banyak bertanya sehingga lengkaplah jawaban yang diberikan untuk kemerdekaan bersujud dan bertahajjud. Tuhan telah mempertemukan kita ketika perjalanan masih baru dimulai dan sejatinya kita adalah musafir yang mampu mengikatkan diri dengan sentuhan perkawanan, pertemanan dan persahabatan yang dibentuk ketika kita berjalan bersama mengelilingi tujuh kali, tujuh hari dan tujuh bilangan. Sahabat, nilai tertinggi yang kuberikan pada sejumlah paragraf tentang perjalanan suci ini adalah sebagai catatan bulan hati yang mampu menegur egois diri dan melagukannya bersama kita bertiga, berjalan bersama, makan bersama dan menghitung bersama.

Sahabat, betapa eloknya kemudahan yang kita dapatkan ketika dingin dinihari mampu mengajak kita ke perjumpaan di raudah yang mengharukan. Betapa, sebuah waktu yang diberikan ketika masih sunyi dan dingin mengembangkan hari-hari suci di perjalanan suci dan mampu menuangkan berjumlah alinea untuk dicurhatkan pada kekuasaaan mutlak di sebuah tempat ijabah. Betapa aku merasa sebuah fragmen yang mampu menggetarkan seluruh nadi untuk disajikan dengan kesejukan kalimat doa berbaris-baris. Sungguh sebuah episode yang hanya dapat dijelaskan melalui untaian kalimat terapik, sebagai testimoni bahwa tidur sepulas dua jam mampu menyegarkan rangkaian perjalanan duapuluh empat jam tanpa rehat karena rindunya hati pada raudahmu. Betapa kesyahduan dan kaharuan mampu memberikan sinar bening pada sekujur tubuh sampai matahari pagi menyapa dan menyapu halaman Nabawi yang megah, indah dengan sejuta pesona.

Wednesday, June 04, 2008

Catatan Bulan Hati (1)

Adalah hantaran yang menyampaikanku sampai datang kembali menikmati dan menjelajah suci. Menyampaikan curahan hati pada semesta yang Engkau genggam tanpa akhir dan menerangkannya dengan sejuta firman yang Kau bentangkan. Aku datang lagi Rabb, untuk menikmati setangkai bunga keindahan yang Kau semayamkan pada lingkaran tawaf yang putih jernih (meskipun terik sinar mentari menantang suhu untuk berkeringat). Aku menikmatinya dengan lantunan irama hati dan mengirimkan senyum pada sesiapa yang menyapa tanpa harus mengutarakan sebab. Dan jernihlah sinar pandang untuk dibungkus kembali pada rajutan yang disinarkan.

Aku datang kembali menujuMu dan menyampaikan seribu lembar catatan untuk dikukus dengan baris doa. Sepanjang angkasa kulingkarkan asa, kupeluk haribaan dan menyapa tanpa kata, menyapa tanpa suara, menyapa tanpa sela. Menikmati garis lurus sepanjang matahari dan melandaskan luapan manakala sampai untuk bertamu. Sangatlah indah ketika mata hati meyapu semua sudut untuk diceritakan tanpa harus dikirimkan karena diri ada di halaman suci untuk memeluk auraMu.-(190408)