Thursday, March 30, 2006

Sepulang Dari Solo

To Astuti Wulandari

Maaf kalau aku menjelang tengah malam mengganggu jelang tidurmu, ketika aku harus menyampaikan mendung yang menggelayut itu. Ya ada mendung, Wulan, sehingga aku harus kembali mengatakannya kepadamu tentang semua yang kutumpahkan itu.

Wulan,
Apakah warna biru akan selalu bermain di laut biru
Apakah warna pink akan selalu berada di pelangi hati
Apakah warna merah akan selalu di jalur adrenalin
Apakah warna hijau selalu bermakna keteduhan

Perjalanan itu benar-benar kunikmati, sambil menyenandungkan Kenangan Terindahnya Samson (walaupun belum hapal-hapal banget). Syair lagu itu seperti mengingatkan sebuah monumen dimana cinta yang dibangun tidak mesti dipetik dan dimiliki, bukankah begitu Wulan.

Persetujuan yang dibangun adalah mempererat silaturrahmi dan meraihnya dengan kedewasaan peran kemudian merawatnya, memperbaharuinya dengan wisdom dan trust.

Setidaknya ungkapan yang kubungkus malam itu dan malam berikutnya semakin mematri diri untuk memberikan nilai "sangat memuaskan" pada seorang Astuti Wulandari, seorang yang mampu mendefinisikan mendung untuk tidak menjadi hujan.

Sejatinya engkaulah sahabat sejati itu
Setulusnya engkaulah sahabat yang tulus itu
Wulan, engkaulah sahabat yang tulus dan sejati itu.




Monday, March 27, 2006

Selamat Libur

Happy Long Weekend

Buat sahabat sejati, Endah RH (duh, fotonya yang di Rinjani itu begitu indah) met libur panjang, setidaknya memberikan suasana baru mencari inspirasi tentang alam dan ciptaanNya. Buat Astuti Wulandari, SMSnya memberikan ruang untuk menjelajah hakekat rasa, hakekat silaturrahmi yang selalu kau bawakan bersama sekeranjang oleh-oleh. Buat Dewi Anna, berita yang kau sampaikan selalu menuai kelucuan dan kemanjaan, itu yang menjadi ciri khas kamu. Untuk Nessa Shania, aku lagi ngambek sama kamu sebab aku kehilangan jejak kamu kecuali via email. Buat Sofi, jangan suka bikin issue terus ya atau kamu marah ya gak diajak traveling Ahad kemarin. Untuk Mami, biasalah, mohon maaf jika beta selalu banyak salah, jangan percaya ama omongan si Sofi item maniss ya Mi. Buat Afrizal, Efrizal, Yanto, Wayan, Amran Siregar, Ismail harahap, Seno, Gito, semuanya nikmati libur panjang, cuti bersama. Kalau aku sih, tetap aja masuk Jumat minggu ini supaya gak direpotin monthly report. Soalnya Senin kan udah tanggal 3 April, pasti numpuk tuh gawean kalau gak dicicil. Lagian cuti bersama kan tuk orang luar kota yang mau ketemu keluarga, sedang aku kan orang kota, eh maksudnya orang yang tinggal di pusat kota Semarang gitu loh, jadi bukan bulok alias bujang lokal atau urban, orang pinggir kota. Jangan tersinggung ya Fren, canda kok.

Thanks atas atensinya, protesnya dan pertanyaannya: siapakah si pemilik sinar mata indah itu, tak perlu kujawab Fren.

Wassalam

Hakekat

Kubiarkan Rasa Itu

Persemaian hakekat sebenarnya terletak pada keinginan yang menggelora untuk menuju titik kulminasi pada persinggungan jangkauan meraih kesempurnaan. Tetapi apakah memang ada yang sempurna di jagat materialitas ini, jawabnya tentu tidak. Demikian jua, hakekat cinta sebenarnya adalah membangun fondasi untuk menyediakan aula dan koridor kasih sayang, memadu kasih, curahan perasaan, persetujuan janji, dan perlambang heart to heart. Tetapi apakah memang ada cinta yang sempurna, jawabnya tentu tidak ada.
Itulah sebabnya sembari menggaris-garis hakekat dan definisi, persetujuan tentang hakekat cinta sebenarnya berada pada koridor rasa paling dalam, rasa paling privacy yang bernama hati nurani, dan tidak terletak pada garis rasio, atau titik eksakta seperti yang berlaku pada formula fisika.
Itu pula sebabnya ketika sinar mata indahmu, rambutmu yang kau biarkan tergerai dan lesung pipitmu mengantarkan aku ke depan pintu hati, kubiarkan rasa itu bermain di bilik hatiku, kubiarkan rasa itu mengaduk-aduk kamar hatiku, kubiarkan rasa itu bercengkerama dengan hakekat karena di ruang rasa itu aku dapatkan rangkaian bunga mawar dan semerbak wangi bunga sedap malam.
Kubiarkan saja rasa itu
Kubiarkan saja rasa itu mendefinisikan hakekat cinta
Kubiarkan saja rasa itu bermain bersama wajah ayumu
Kubiarkan saja rasa itu mencium bunga mawarmu
Karena sesungguhnya cinta bukanlah definisi rasio
Karena sesungguhnya aku cinta kepadamu, wahai bunga sedap malam

Merbabu-Merapi

Merbabu-Merapi

Keindahan Merbabu Merapi adalah persetujuan tentang eksistensi sinar pandang
Yang mampu menembus mata hati, kata hati
Dan menuliskannya atas nama kebesaran, keperkasaan dan kehijauan
Merbabu Merapi adalah persetujuan tentang cipta dan hak cipta kemutlakan

Seandainya kau ada disampingku
Akan kuceritakan betapa sinar mata indahmu mampu menyuarakan lagu-lagu cinta
Akan kuceritakan betapa sinar mata indahmu telah mengaliri arteri sekujur tubuh
Akan kuceritakan betapa sinar mata indahmu memberikan inspirasi tentang makna kasih sayang
Akan kuceritakan betapa sinar mata indahmu telah menggali pesona atas nama keteduhan

Duhai keindahan
Betapa sejatinya persetujuan tentang pesonamu adalah persetujuan yang dibangun dengan hati bening
Betapa sejatinya persetujuan tentang pesonamu adalah persetujuan yang dibangun dengan cinta tulus
Betapa sejatinya persetujuan tentang pesonamu adalah persetujuan yang dibangun dengan kebeningan rasa
Duhai seandainya kau mau mengerti

Duh, Gusti
Seandainya dia ada disampingku
Seandainya dia mau mengerti
Seandainya dia..............

Sunday, March 26, 2006

Pesona

Pesona dan Pesona

Sepanjang Salatiga- Magelang, ada keindahan hijau yang menyertai jalan-jalan bersama, jalan-jalan hati, jalan-jalan nurani, jalan-jalan imajinasi, menerawang, sesekali menatap betapa kehijauan adalah anugerah dan mengantarkan sinar mata menuju kesejukan.

Tetapi sesungguhnya keindahan sinar matamu mampu mengalahkan kesejukan dan kehijauan sehamparan bukit dan lembah. Keindahan sinar matamu adalah pesona yang mampu menggetarkan nadi hati ini.

Ya keindahan sinar matamu
Ya ada yang indah di matamu

Wednesday, March 22, 2006

Laut Biru

Tanpa Kata

Sudah kutumpahkan sejuta rangkaian kata untuk menyatakannya
Tetapi mengapa pelangimu hanya menampilkan warna rutinitas
Tanpa rasa, tanpa asa, tanpa kata
Sudah kulayangkan pada testimoni proklamasi pengakuan
Melebihi segala naluri logika
Sudah kulampirkan pada setiap lembar kertas berbaris-baris
Dan nyaris kehabisan
Tetapi mengapa pelangimu hanya untuk warna merah kuning hijau
Tidakkah sekali waktu kau pilih warna biru malam
Sekali waktu saja

Dan
Ternyata aku berhadapan dengan laut biru
Dan tanpa jawaban apa-apa
Dan tanpa kata-kata
dan tanpa asa
****
Sm2303








Sketsa Religi

Wajah Lelaki Itu

Selepas berjamaah maghrib di Masjid depan rumah Rabu yesterday, sengaja aku tidak langsung pulang ketika aku lihat lelaki tambun setengah baya itu sedang bersila di beranda Masjid.
"Assalamualaikum Pak Ndut" sapaku ramah pada lelaki mantan Polisi yang nama sebenarnya adalah Jazuli.
"Walaikum salam Pak" jawabnya sembari menyodorkan jabat tangan dan senyum. Sepintas kulihat wajahnya begitu bersih, cerah dan sumringah. Sesuatu yang jarang diperlihatkannya selama ini semenjak dia terusir dari tempat tinggalnya di Ngalian. Ya dia memang terusir dari keluarganya, sanak famili dan juga "terusir" dari kesatuannya Polisi secara tidak terhormat dua tahun yang lalu sebelum akhirnya terdampar di lingkungan Jomblang Barat I dimana aku berdomisili.

Ketika pertama kali kulihat lelaki itu, yang timbul di benak adalah persepsi negatif tentangnya. Bagaimana tidak, sebagai seorang yang terusir dari korps dan keluarga opini tentang lelaki gendut (makanya dipanggil Pak Ndut) benar-benar miring, tidak ada celah untuk menafsirkan sesuatu yang menggembirakan. Benar-benar hitam dan tertatih-tatih untuk menemukan warna putih bening.

Beruntunglah dia karena Takmir Masjid "bersedia" menerimanya dan menempati ruang kecil semacam gudang untuk tempat tinggalnya dan disitulah dia melalui hari-hari rutinnya yang begitu papa, sendirian dan menyendiri. Pada mulanya banyak warga dan jamaah yang prihatin dan berupaya membantu sesuap nasi untuk melanjutkan hidupnya. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, sifat "polisi ndableknya" sering membuat jengkel masyarakat, suka berbohong, kadang menggertak warga, selalu merasa menjadi security dan menakut-nakuti jamaah pendatang, dan acap kali membuat keresahan warga karena selalu mengkomersialkan fasilitas masjid untuk mandi dan cuci.

Aku bersama pengurus RT dan Takmir akhirnya "dipaksa" warga dan jamaah untuk segera mengeluarkan "Pak Polisi" itu dari lingkungan Masjid dan RT01, sesuatu yang selama ini menjadi dilema, mengingat perjalanan kariernya yang demikian berlobang sementara sebagai Takmir mestinya kita senantiasa mengajak dia untuk menuju jalan Allah dengan segala kesabaran.

Akhirnya dalam pertemuan Takmir beberapa waktu yang lalu disepakati bersama bahwa Pak Jazuli harus meninggalkan Masjid dan RT01. Lelaki yang hadir dalam pertemuan itu hanya tertunduk kuyu dan layu. Aku sempat melontarkan kalimat ironi kepadanya dengan maksud untuk menggugah suara hatinya yang terdalam : " Pak Ndut, ketika anak isteri sudah tidak menerima kita, ketika warga di lingkungan sudah tidak ingin lagi melihat kita, ketika semua sudah tidak lagi menerima kita, bukankah Tuhan masih menerima kita dengan segala macam daki dosa dan khilaf. Bukankah kehidupan kita tidak dilihat dari proses perjalanannya melainkan dari akhir ceritanya. Bukankah yang kita cari adalah khusnul khotimah", teriakku yang membuat pengurus takmir lain terdiam sesaat.
Lalu kulanjutkan lagi : " Sudah ada contoh nyata dari seorang jamaah masjid ini yang meninggal tiga bulan yang lalu. Sama keadaannya, dia terusir dari rumah, tidak diakui oleh keluarga, hidupnya hanya mengais dari jasa parkir di depan Java Mall. Namun dia tidak pernah alpa untuk melakukan sholat jamaah di Masjid ini bahkan sebelum azan berkumandang di setiap lima waktu dia sudah ada di Masjid untuk hadir pada shaf depan. Coba kita renungkan dia meninggal ketika sedang mengambil wudhu Zuhur, bukankah itu sesuatu yang khusnul khotimah yang diperlihatkan Allah kepada hambanya". Aku coba untuk memastikan apakah mantan Polisi itu bisa memahaminya. Ya dia menatapku walau sesaat dan kulihat dia memahami kalimatku.

Itulah kulihat terakhir kali dia "sesendu" itu dan akhirnya dengan berat hati dia tinggalkan Masjid, dia tinggalkan lingkungan RT01 dan masih beruntung jua ada warga Rt04 yang bersedia menampungnya.

Belakangan dia menjadi sangat aktif beribadah di Masjid dan mengatur irama hidupnya dan ini yang menjadi perubahan mendasar- tutur bahasanya tidak lagi arogan dan sombong- sesuatu yang jarang dijumpai manakala kita ngomong soal apa saja dengannya.

Itulah sebabnya ketika sholat maghrib selesai Rabu kemarin sengaja aku luangkan waktu berbincang-bincang dengannya sambil menunggu waktu Isya. Kuperhatikan air mukanya dengan seksama, tutur katanya, bahasa tubuhnya dan langgam gayanya. Ya ada perubahan pada dirinya, semakin mampu mengendalikan bahasa lisannya, semakin mampu membawa dirinya, semakin tertata irama bahasanya dan semakin bersih sinar wajahnya. Memang ada perubahan itu, dan mudah-mudahan istiqomahlah dia melalui hari-hari ibadahnya, menjadi seorang yang khusnul khotimah, setidaknya di mata Allah.

Ya ada perubahan pada dirinya
Walaupun masyarakat masih belum menerima lagi seutuhnya
Aku yakin
Ada saatnya warga akan memberikan persepsi yang putih untuknya
Perlahan
Dan semoga konsisten
Aku senantiasa mendoakannya untuk menuju jalan akhir yang khusnul khotimah.
Amin.

Smg230306




Tuesday, March 21, 2006

Good Morning Wednesday 22-03-2006

Good morning everybody,
Hari ini aku mau sampaikan ucapan "makasih banget" pada sahabat sejatiku yang telah mengirimkan respons via email dan sms atas hadirnya blog jendela kamar hatiku.
Special thanks kusampaikan Endah RH, sahabat setia yang memiliki kesamaan pandang dalam memandang esensi keduniaan, kemudian kepada si manis manja Dewi Anna Parwati yang selalu mengundang curi pandang. Kepada sahabat promordialku Efrizal, makasih berat atas sikap kritismu yang langsung mengumandang via email kepadaku. Kepada "Sang Letnan Kolonel" Totok BE, pertanyaanya tentang "sahabat siapa dia" sementara tidak dapat kujawab,fren.
Hampir lupa buat Nessa Shania, encik berwajah melayu nan mendayu semampai yang merantau ke negeri seberang nan setia menjadi tutor English (little-little to me), kamu yang mengawali ide untuk buat blog ini agar menjadi jendela kamar hati, karena kamu juga punya jendela hati kan.
Hari ini aku ingin sampaikan pada jendela kamar hatiku and listen :
MENULIS ITU INDAH KETIKA SAMPAI DI KAMAR HATI
Subhanallah
Wassalam
Jagarin Pane

Monday, March 20, 2006

Purnama Hati

Secarik Kertas

Ketika harus berhadapan dengan keniscayaan
Maka jawaban yang ada seragamnya sama
(Sementara lintasan arah seperti sudah paham ujung ceritanya)

Keceriaan
Adalah susunan grafis berkotak biru muda
Memberi senyum dengan sinar mata indah
Lagak dan langgam menampilkan kepemilikan putih bersih

Kepada sinar mata indah
Lagu dalam kaset menyetir diri memasuki pelangi hati

Ceria
Riang
Gembira
Derail tawa
Senyum merekah
Pipi memerah
Lipstick tipis
Gaun biru muda
(Sejauh itukah kisah-kisah yang dipertontonkan)

Kepada pemilik sinar mata indah
Santunilah dalam kedermaan pelangi hati
(Sekedar ungkapan membagi cinta, benarkah ?)



*****

Menimang Rasa

Ada asa
Menimang rasa
Meminang hasrat
Menimbang logika

Menyambung kemungkinan
Memadu seandainya
Mematri hipotesis
Memanggang sinar wajah

Menimang asa
Meminang rasa
Menimbang hasrat
Ada asa, ada rasa, ada hasrat
(Tetapi tidak ada pertimbangan logika)

Seandainya itu terjadi
Bukankah sebatas itu pendangkalan hasratmu
Yang memberikan setitik nila namun sebelanga coretan
Timanglah rasa
Bersama logika permainan yang menyentuh peran

Kepada sinar mata indah
Tutuplah rekening yang menjanjikan hasrat setitik nila

*****

Purnama Setengah Hati

Melukis luka
Menangislah langit
Menengadah
Biru menjadi diagonal tak bertepi

Menanti maghrib
Menghitung anugerah
Menengadah
Biru menjadi akbar tak terkira

Menggaris wajah
Menyapa bulan setengah purnama
Menengadah
Biru tak lagi berwarna

Sebisanya menyelami fenomena purnama setengah hati
Tergenggamlah pasir terurai ombak
Menengadah tak ingin melayat wajah
Menengadah tak ingin membawa prisma
Menengadah tak ingin membungkus nama
Purnama setengah hati tergerus ombak pantai biru

Kepadamu
Purnama setengah hati

*****

Catatan Bulan Bundar

Bulan Bundar, Anakku

Sejumlah kata yang terlempar
Menjumlahkan argumentasi dengan niat dasar
Menghitung logika dengan nalar keikutsertaan
Jatidiri dalam lingkungan jalan raya kebisingan terstruktur
Adalah keseharian sampai purnama tadi malam

Bulan bundar menyertai hakekat nawaitu
Mengandalkan keyakinan terkini yang semakin kental
Kepada siapa tumpahan bias sinar lembut mengantar warna
Dari dua binti yang semakin cerdas dan pintar
Adakah kebanggaan yang dapat melebihi
Ketika dua putri bangun tidur langsung mencium bapaknya
Adalah kesegaran yang memerahkan nadi kesegaran

Bulan bundar menyertai keikutsertaan jalan-jalan nurani
Padahal pulau berada dikejauhan utara
Semangat mengayuh waktu membagi kebersamaan
Menggoyang rasa untuk menyatukan purnama hati
Sambutlah keteduhan hati dengan kemanjaan dialog
Sambutlah hari dengan bulan empatbelas hari
Memberikan keindahan ditengah kepekatan
Selamat tidur anakku

*****

Belum ada jawabannya hari ini

Merangkum dekapan
Ketika sejumlah berita menghangatkan emosi
Mendekap rangkuman cerita
Ketika penjumlahan hari menjadi tatapan rutinitas
(adakah persamaan yang didapat dalam pemberdayaan)

Seandainya jawaban itu sudah ada
Kemenangan bathin bukanlah sekedar melampiaskan muntah
Tetapi adalah Dia yang mengobati luka yang tak pernah kering
Lurus cerita jujur berita
Sampai pada saatnya ketika atas nama kehancuran
Pembalikan akan menumpahkan percikan api

Merangkum luka
Adalah menafsirkan apakah langit berwarna biru
Mengapa air laut harus terasa asin
Bagaimana harus mendefinisikan ketidaktahuan cerita
Tetapi harus membawa setumpuk kisah

Merangkum dekapan
Adalah menjelajahi kesedihan raut wajah ibu
Menapaki jalan cerita matahari setia
Cahayamu menggariskan kesetiaan akan harapan
Dan tidak seorangpun dapat memberikan tandingan

Ketika pencerahan hampir mendatangi pintu
Ketika pencairan hampir melelehkan lilin
Adalah kesetiaan akan harapan
Yang memberikan keyakinan setumpuk tinta
Untuk ditawarkan pada penjelajahan kebenaran
(Tuhan, belum ada jawabannya hari ini)

*****

Menjelang siang hujan masih belum berhenti

Rangkaian lagu berbaris ke sebuah arah permenungan
Memainkan garis-garis hujan tengah hari
Pada sebuah sentuhan guratan wajah dan setangkai alang-alang
(Mengapa seiring istiqomah kedamaian ada celah berangan-angan)

Pada barisan terlurus tengadah tengah malam
Arti bait-bait yang telah diperoleh (bukankah sebuah anugerah)
Mendudukkan rasa dan menundukkan hasrat
Setelah tertangkap menjadi adonan keteguhan
(Bermain dalam nepotisme hasrat, sesungguhnya satu adat)

Betapa
Permainan naluri hampir menenggelamkan semua logika
Kepemilikan dengan argumentasi nilai dasar hakiki
Apakah tidak dapat meratifikasi kejujuran bilik hati putih
Apakah harus menganalisis rumusan yang sudah menjadi norma

Katakanlah bahwa warna hijau adalah kedamaian sinar mata
Katakanlah bahwa kejujuran adalah doktrin istiqomah aqidah
Katakanlah
Katakanlah
Katakanlah
(Menjelang siang hujan masih belum berhenti)

*****

Kutampik tawaran sepi

Ketibaan yang tak perlu ditunggu adalah mengintip harapan jinak-jinak merpati. Sinar mata kedua anakku adalah simbol tentang harapan atas kebanggaan yang mereka sendiri belum tahu definisinya. Duh, Gusti apakah harapan atas kebanggaan itu harus kujelaskan padahal kebanggaan itu masih harapan.

Merajut pelangi dalam pandangan hipotesa seperti berada pada bingkai elastis selayang pandang. Ketika tertumbuk pada dalil yang sesungguhnya, yang ada hanya ketelantaran system yang tidak memberi sinar satu warna pun. Duh, Gusti mengapa pelangi hanya turun ke bumi sehabis pembasahan kesejukan.

Menarilah sinar mata anakku, sebuah jaminan tentang bingkai selayang pandang. Dan pada batas maksimal temperatur asa dan asih, adalah merdunya celoteh mereka yang dapat mengartikan irama lingkaran kebersamaan kesempurnaan.

Sepi pun hilang
Dan aku tidak ingin kedatangan sepi
Dan aku tidak ingin merindukan pelangi
Dan aku tidak ingin ada di bingkainya

*****

Seruling Nadi Hati

Kalau pun harus kusimpan, suara hati berdarah merah menggetarkan pita-pita ketidakinginan untuk mempersamakan jalan kaharusan. Tidak ingin mempertanyakan yang sudah jelas jawabannya, bahwa tidaklah mungkin harus membuka lembaran yang berjilid dengan luka yang tak pernah kering.

Pada keharusan itu, jawaban hanyalah meneruskan formalitas untuk sekedar menepis anggapan ketidakmungkinan menjadi suatu babak-babak keniscayaan (yang sebenarnya kuinginkan). Kepasrahan pada kenyataan, itulah sebabnya mengapa tidak ingin ada sebuah pengumuman dari sebuah jalan cerita jika nantinya memang akan hilang dengan sendirinya (dan pasti).

Tuhan,
Haruskah pertanyaan selalu kujawab dengan senyum. Haruskah jawabanku akan mendefinisikan untuk tidak lagi berharap dan berdoa. Haruskah sebuah kesimpulan akan menjadi sebuah harga beli yang tak bisa ditawar.

Pada sebuah sebab musabab, memanggul cerita adalah bagian dari cerita itu sendiri untuk terus disandangkan pada pakaian lintas harian. Pada sebuah kepedihan, pendalaman tentang luka adalah menggaris-garis luka itu sendiri.

Tuhan,
Bagaimana harus menyatakan putih berwarna putih, bagaimana harus menimang asa jika nantinya akan terbuang dari getar genggaman, bagaimana memastikan yang sudah pasti menjadi sambutan bermata bening.

Tuhan,
Bagaimanakah definisi hakekat yang sudah melekat ketika pada akhirnya harus menyadari kekalahan yang akan tiba.

*****

Ketika

Ketika perseteruan naluri memadamkan logika, maka pengejaran terhadap hasrat melewati batas wewenang keyakinan yang dipatri dengan sandiwara peran. Ketika kemenangan hasrat hampir mencapai puncak, pelecehan terhadap koridor yang menjadi batas signifikan menertawakan kebodohan sektoral.

Tetapi bahasa tidaklah selalu berarti ucapan. Dan ucapan tidaklah selalu berarti ungkapan. Ketika kita tidak perlu bahasa, ketika kita tidak perlu ucapan, maka pada saat itu nada yang lain sedang membumbungkan lengkingannya dalam alunan mempermainkan irama tanpa arti.

Ketika hari ini kau terlihat lusuh dengan pakaian yang berkeringat, sejumlah hasrat pun digulung pejuang nurani berhati putih. Dan tertulislah kalimat dengan sejumput kesimpulan.

*****

Catatan Argo Anggrek

Angin Maya

Jalan-jalan imajiner membawa pada bingkai pengharapan sebesar tiang penyangga jalan tol, besar nian pengharapan yang terakumulasi (tanpa sedikit penyusutan) sekedar membandingkan maya dan nyata. Iringan melodi lembut menyentuh gendang telinga, sesuatu yang hampir terlupakan bahwa ada yang idle untuk dinikmati bersama mata maya, mata yang menerawang, mata yang letih untuk membicarakan horizon.

Lantas terminal mana yang harus disinggahi untuk mementaskan cerita yang sudah digelorakan pada angin maya, sampai berhembus menyibak kain sutra yang bernama penyeberangan. Apakah kepantasan peran itu masih harus dibakukan pada standar statis yang mengedepankan monolog belaka, atau memang sudah berada pada penyisihan yang teranulir oleh arogansi berwajah elang yang tak mau lagi menampilkan huruf berbentuk lisan formalitas.

Bungkusan selalu menyemarakkan senyuman, namun tidak memberikan asesoris nilai yang (seharusnya) menjadi tolok ukur kinerja. Kebijakan nilai berada pada ruang kesempatan yang sekarang menjadi definisi menurut versinya, tetapi tidak bagi standar dan norma. Baju yang dipakai mencerminkan kewibawaan peran yang dapat melontarkan argumentasi atas nama mentang-mentang, padahal angin maya mentertawakan dan membisikkan lewat rayuan semilirnya, katanya :

“Tak perlu kau risaukan apa yang diseberangkan oleh perahu ketinting itu karena arus sungai ke hilir lebih memberikan kejelasan sikap bahwa air akan selalu mengalir ke tempat yang rendah, kemudian diterbangkan angin, kemudian diturunkan lagi dan mengalir lagi, dan mengalir lagi. Kalaupun mata elangnya tidak membawa kesejukan itulah bagian dari cerita yang telah kau ceritakan pada angin maya bahwa konsistensi tidak perlu diutarakan melalui derasnya badai namun hanya menuliskan pada selembar kertas putih dan berbaris-baris. Nilainya akan membeningkan telaga hati karena muaranya adalah pencucian baju yang dipakai itu”.

Buasnya permainan peran yang dikedepankan melalui pengusungan keranda atas nama peran, semakin menguatkan harga nominal untuk lebih baik menontonnya melalui Animal Planet, kesungguhan yang dipentaskan adalah mencuci bersih nilai kain putih sampai habis warna putihnya. Lantas dimanakah warna putih harus ditempatkan jikalau warnanya pun tidak putih lagi dan bahkan tidak jelas berwarna apa. Liarnya karantina lakon mentertawakan nadi hati yang telah dibisiki angin maya tadi karena kesimpulannya adalah memformatkan jalan-jalan imajiner ke dalam instalasi empedu hati, pahit, pekat namun masih memiliki celah cahaya.

*****

HATI
HATI-HATI

Suara landai itu justru seperti tusukan duri landak, memacu adrenalin sampai ke puncak keletihan yang luarbiasa genggamannya. Pada titik itu televisi pun jadi terlihat hitam putih dan bergaris-garis kasar. Garis kasar itu menggelora melampiaskan tawaran kenistaan dan memaku pintu nurani sehingga tidak berani lagi menggedor keteduhan. Putaran jam sudah berkali-kali melakukan rotasi rutinnya dan menyumbat senyum walaupun sudah didiscount tujuhpuluh persen.

Apakah permulaan menjadi lebih penting ketika kita telah terlanjur terjebak dalam ring pemantauan yang saling mengucilkan. Tetapi baiklah ditelurkan saja dengan testimoni kebeningan hati dan mempertontonkan opini yang sebenarnya. Suara penyaringan mempertegas kembali bahwa kedengkian yang dilontarkan adalah dalam rangka menebalkan garis batas keangkuhan untuk menebalkan kata TER dalam kuku cengkeramannya.

Tutur kata tidak menjamin maksud hati yang sebenarnya dan itu mampu dibungkus dengan permen rasa manis, yang akhir rasanya menciutkan lidah pemati rasa. Sesungguhnya penilaian terdalam adalah memastikan adanya sebongkah kerikil yang bernama iri bersemayam dan belum mampu dieramkan menjadi noktah koreksi diri.

Tuhan mempersaksikannya, dan Dia tidak diam tetapi tidak pula tampil terang-terangan mematahkan argumen. Keperkasaan tidak perlu diucapkan dan dipertontonkan, cukuplah ia diselipkan pada kancing baju hati untuk menjadi penutup luka yang memedihkannya. Sementara lakon yang dibentuk untuk membuat angin yang dapat menggoyahkan sinar mata simpatik terus menerus diperdagangkan, semakin jelas arahnya tetapi sampai saat ini belum mampu menegaskan cerita yang sudah terlanjur dimuntahkan.

Hati adalah bongkahan
Hati adalah gumpalan
Hati-hati adalah lakon bibit ketenangan nurani
Hati, berhati-hati dan hati-hatilah
Kezaliman yang dipromosikan tidak akan mampu menembus ritual vertikal , memberikan pagar perlindungan, menghancurkan argumentasi TER.

*****

AWAN

Sisi pemaknaan lain kita adalah mencoba menimba awan yang memimpin hujan untuk membasahi bumi hati kita. Seperti yang terjadi semalaman ini dan berlanjut sampai menjelang sore, rahmat itu menghijaukan tetumbuhan yang sudah kebasahan dan berwarna hijau. Ketika kita berada diatas awan itu pemaknaan sisi lain kembali menghadang alam pikir bahwa sesungguhnya kriteria yang distandarisir logika belum mampu menghadapi penyebab awal mengapa harus ada awan yang menjatuhkan hujan. Mengapa tidak hujan itu saja yang mengaliri nadi-nadi kehidupan tanpa harus berproses seperti yang ada dalam ilmu Fisika.

Itulah pemaknaan yang dapat dijawab dengan kesementaraan peran (dan sebenarnya hanya menoleh sesaat ) yang saat ini kita hadapi, bahwa sunatullah tidak menyombongkan bukti kepemilikan sejati. Bahwa kepemilikan dalam kemutlakan yang akte pendiriannya tidak pernah dapat tercapai oleh akal budi membawa logika kehidupan yang mestinya dapat kita maknakan dengan penampilan diri yang tahu diri. Bahwa mengapa awan harus menggantungkan diri untuk sekian ribu meter (bukan sekian meter saja) dan bersusah payah kembali menebar hujan kebeningan, itulah makna sesungguhnya proses penciptaan yang kita pun tidak dapat memperbaharui atau bahkan menciptakannya.

Lantas mengapa hati kita harus pula berawan menyaksikan pengorbanan awan kepada ummat yang demikian tanpa pamrih. Bukankah hati kita adalah barometer yang membawa nilai insani sejati dan yang membedakan kita dengan golongan yang hanya membawa insting belaka. Perlawanan itu yang membawa suara beda dan gelombang pemaknaan untuk menjadi eviden perjalanan dan pertanyaan pertama ketika kita menyilang perbatasan yang menembus ruang waktu.

Pandangan terluas yang dapat dinilai dengan egosentris hati berawan adalah mempersoalkan definisi yang menjadi catatan pribadi dan melontarkannya sebagai debu, menjadi angin kemudian menggumpalkannya di sel awan. Kabar yang turun dari titik air menjawab kejelasan akibat, bahwa asosiasi peran yang diinginkan adalah menampilkan sosok diri yang bersih dari cela padahal awan sudah mentertawakannya.

*****

Cerita Rasa

Rasa

Cerita yang sampai, sejauh yang terdengar adalah seruling yang bunyinya seperti meniup asap tanpa api. Cerita yang mampir, sejauh yang terdengar adalah kumpulan nada yang tidak beraturan not baloknya. Yang berkembang adalah tiupan seruling nan membahana dengan lengkingan bunyi tengah malam ketika pekat membalut kesunyian. Yang bertunas adalah kumpulan bait yang ingin mempersamakan bunyi dengan cerita tanpa fragmen yang jelas.

Tetapi, bunyi itu menampakkan belang warna yang ingin dikedepankan sebagai bentuk pembenaran yang dikemas dengan daun pandan yang belum hijau. Pembenaran argumen tanpa melalui aransemen dan hubungan antar bait semakin mempertegas egosentris yang berlabel kesewenang-wenangan. Penampakan lahiriyah lewat bahasa silaturahmi dalam headline berita sering mengecoh paragraf selanjutnya, padahal di alinea itu penampakan asli dengan bahasa tubuh tidaklah sulit untuk menafsirkan kedengkian hati.

Itulah sebabnya mengapa langit perlu berawan, mengapa pepohonan perlu daun dan mengapa tidur perlu mimpi. Diversifikasi yang terpusat pada nilai hati akan memberikan noktah segmentasi untuk tidak perlu memanaskan mesin hati dengan premium yang berharga agio saham karena awan akan melindungi sengatan mentari, daun akan terus menerbitkan fotosintesa dan mimpi akan menghadirkan kebesaran kekuasaanNya.

Pada perlawanan yang tidak sepadan, pencarian palung terdalam dapat melalui jalan dengan menafsirkan warna samudera yang paling biru, pemaknaan cerita dapat dieramkan pada sebuah kolam yang menampilkan ikan hias berwarna jingga. Adalah persaksian jua yang dapat mempertegas bunyi yang bergemuruh tanpa plafond spasi dengan menyekat ventilasi yang bernama “biarkan saja”.

Keseluruhan cerita adalah menangkis howitzer tanpa perlu menyuarakan bunyi. Keheningan adalah sketsa yang dapat menjernihkan nuansa. Keheningan adalah menyelimuti bayangan dengan keyakinan dan keniscayaan. Putaran lagu akan lebih membungakan rongga dada dengan sentuhan mawar yang tak berduri, tetapi apakah ada mawar yang tak berduri sedangkan bunga di rongga dada mengilhami keharuman nilai.

*****


Sketsa Ruang

Kesetiaan Seekor Anjing

Naluri pembelaannya luar biasa, walaupun kadang-kadang lidahnya sampai terjulur dengan dengus nafas tersengal-sengal. Belum lagi gonggongannya yang dapat mengganggu tidur orang se RT. Jenis gonggongannya dibagi dua jenis ditinjau dari segi nada dan irama. Jika nadanya terputus-putus itu adalah symbol yang biasa karena “musuhnya” kelihatan oleh panca indra. Dan jika nadanya melengking tinggi memanjang apalagi di tengah malam buta, yang dapat mendirikan bulu roma, itu suatu pertanda ada sesuatu yang tidak kelihatan yang menggerakkan bunyi pita suaranya.

Karena kesetiaannya pula, dia banyak dimanfaatkan sekelompok orang untuk berburu, melacak dan menjaga rumah. Kesetiaannya adalah sebuah Gen yang sudah turun temurun sejak jaman sebelum masehi. Kesetiaannya adalah sebuah lambang, sebuah fenomena, sebuah keyakinan yang sudah menjadi rutinitas kehidupannya.

Tetapi begitulah eksaknya logika, keterbatasan tetap ada pada naluri Gennya. Ketika pertama kali “disuntik” oleh nenek moyangnya, mereka lupa menginisialkan abjad “tikus” sebagai musuh abadinya sehingga kucing yang mendapat job itu masuk kategori kesayangan si empunya rumah. Walaupun kucing dapat mengejar tikus sampai pontang panting, sayang sekali dia bermusuhan dengan anjing sehingga riwayat tikus yang lari ke luar rumah diselamatkan oleh “kewibawaan” anjing.

Makanya tetap saja kepintaran tikus mengobok-obok dengan rakusnya menjadi sebuah galian yang membosankan untuk dikaji. Kesetiaan anjing tetap saja berada di koridor “ring tiga” yang tidak berwenang menjelajah area pelayanan sang kucing yang kesetiaannya diragukan berlogo malu-malu kucing. Pertanyaannya adalah apakah anjing kecewa dengan batas kewenangannya yang diberi baju kesetiaannya dan hanya menjaga halaman rumah ? Sementara tikus rakus membuat rute-rute zigzag dengan pakaian yang cukup elegan.

Sekolah pengawasan sang anjing mengajarkan bahasa tubuh dengan seragam kesetiaan menghargai uraian tugas tanpa harus melintasi selat perbatasan. Ketika si empunya menghardik, tetaplah dia dengan kesetiaannya yang utuh karena kelasnya tetap bernama anjing. Ketika ada jejak-jejak mencurigakan disekitarnya segera dia menggonggong memberitahu si empunya, tetapi ketika kakinya terinjak, haruskan dia menggigit dan menjerit ?

(Pagi tadi, anjing tetangga sebelah kelihatan kuyu, melintasi jalan Purnawirawan Kampung Bugis)

*****

Suara Hati

Tipis, ditepis

Sinar berlarian mengejar jejak-jejak, memastikan lewat sebuah cincin akumulasi detak. Menghamparkan selendang membentangkan tikar perjumpaan siang dengan kemudi sesak nafas. Apakah setitik keringat di leher menjadi gagasan tumbuhnya kebebasan pada ruang empat kali empat ketika kau lepaskan wangi bunga sedap malam. Terhiruplah, dengan pengulangan kata-kata yang tidak begitu penting untuk dimaknai.

Pencerahan adalah titik pertemuan mercu suar dalam gelapnya laut terbuka, dalam niat pencarian asumsi dengan awal kalimat : Apakah sinar itu untuk beta ? Posisi dialog bukanlah untuk memajukan proposal janji ketika harus melaksanakan pertemuan mercu suar. Pemberian adegan dengan langgam dan lenggok sebuah sinar belum menjadi kejelasan apakah tipisnya sinar(mu) adalah ditepisnya asumsi-asumsi yang membentangkan wewangian sedap malam(mu).

Hari ini terdengar berdebar, tetapi (sudahlah) kalau sudah sampai sejauh itu fundamen yang ingin dikembangkan, putuskan saja karena hanya akan menepiskan tipisnya harum wangi sedap malam. Katakanlah pada berbagai kesempatan, setipis itukah asumsi yang ingin ditampilkan. Kalaupun itu benar, tepiskanlah dia.
Once Again, Pocari Sweat

Surprise banget permainan marketing Pocari Sweat ketika tampil dalam Extravaganza Trans TV Sabtu Malam tanggal 04 Pebruari 2006. Dalam sketsa cerita yang tidak begitu jelas maunya tiba-tiba ada dialog begini, “Minum air putih saja tidak cukup”, kata papa Pinokio (diperankan oleh Ronal) kepada anaknya Pinokio di tempat tidur. Lalu ia mengeluarkan minuman kaleng tersebut ke (Aming) Pinokio secara perlahan, dan kamera close up menangkap merk Pocari Sweat, minuman isotonik yang makin digemari itu. Penonton dan pemirsa surprise disuguhkan adegan entertainment marketing berbaju lawak.

Luar biasa cara marketing seperti itu. Bayangkan, berpuluh juta pemirsa TV di acara prime time paling digemari itu (rating Number One) menyaksikan Pocari Sweat melakukan counter attack dan solo run marketing ketika orang belum sempat memikirkan. Boleh juga kita sebut Pocari Sweat telah melakukan salah satu “cara pandang” BOS (Blue Ocean Strategy). Dia melakukan unjukrasa iklan tanpa sempat dipikirkan oleh penonton, pesaing dan another bisnis corporate. Dan satu catatan lagi : Extravaganza tidak pernah menjalankan cerita lucunya dengan cara sisip iklan.

Jadi, ada dua “kemenangan” Pocari Sweat disini yaitu : surprise, semua orang melongo, dan pesaing terkesima. Data entertainment marketing Pocari Sweat Extravaganza menunjukkan kolaborasi ciamik sambil meninggalkan pesan : KITA LAKUKAN KETIKA ORANG LAIN BELUM SEMPAT MEMIKIRKAN. Nah, jika kemudian ada promosi lain meniru cara surprise ini dipastikan tidak ada greget lain dan ingat : Blue Ocean Strategy bukan meniru, tetapi menciptakan.

Pocari telah melakukan “langkah berikutnya” yang sukses dalam inovasi marketing setelah sebelumnya mampu menundukkan persepsi konsumen melalui SPG di pusat-pusat perbelanjaan nasional.

Jagarin Pane
Semarang