Thursday, January 17, 2008

Sedetik ini

Sedetik ini ada cerita tentang riuh gemuruh yang direkam dengan anggukan dan dukungan untuk menggantikan dan mengedepankan. Seminggu berlayar dan menjelmakan sebuah pelabuhan pergantian. Dan aku bergegas saja untuk menyalin kembali dan meletakkan dasar-dasar amanah yang diemban.

Dan semua dihijaukan dengan pandangan sejuk, dan semua dihijaukan dengan langkah pasti untuk menjelaskan langkah yang dipastikan. Maka semuanya kurencanakan dengan sebutan total football, meyakinkan anggota untuk berjalan dan bernyanyi bersama, membersihkan sisi dinding yang masih berdebu menahun.

Sedetik ini menghela nafas sejenak sembari mengabarkan berita untuk semua, bahwa undangan yang telah disebar adalah manifestasi untuk langkah dan harapan. Dan sebisanya disuarakan bahwa tanpa garis tebal, niat tak perlu diulang kata, cukuplah dengan pembuktian bahwa pamrih tidak dibawa serta dalam pelayaran perdana, sekali lagi tidak membawa pamrih.

Oleh karenanya titipan yang hendak dikumandangkan adalah merumuskan cara kelola untuk sebuah tujuan dua lembar yang sudah ditulis dan dibincangkan, semua setuju dan semua berjalan. Dan bawaan pesan yang dihayatkan adalah senandung doa untuk meniti cara pandang yang membawa kebeningan dan keluasan peran, mengendalikan dan mengajak pada sebuah horizon untuk dipandang dengan matahati. Keniscayaan yang dibangun adalah menafsirkan asa pada seikat doa dan upaya untuk mampu membawa dan mengemban. Semoga mampu menembus awan untuk mencapai langit biru.

(Thanks for all untuk kesepakatan mengangkat amanah menjadi sinar benderang, memakmurkan dan memolesnya sebagai tanggung jawab. InsyaAllah menjadi sebuah nilai yang bisa ditandingkan).
****

Tuesday, January 08, 2008

Untuk Bang Syahrul

Teruslah berjuang Bang Syahrul, apapun warna langitmu karena engkau adalah pelangiku, pelangi kami, pelangi republik Telkom. Tulisan Bang Ferdi yang disiarluaskan via milis itu sudah kubaca dan kuhayati dengan kebeningan hati bahwa sejatinya engkau adalah pahlawan di pelangi merah kuning hijau. Engkau adalah ikon istiqomah dari sebuah kisah perjalan mengawal republik Telkom dari gerusan abrasi dan erosi berlabel kapitalis. Engkau adalah potret sesungguhnya dari perjuangan tak kenal lelah demi menjaga eksistensi dan kebanggaan pada jiwa patriot nasionalisme.

Jangan susutkan sinar matamu yang flamboyan itu manakala ongkos perjuangan yang kau dapatkan hanyalah angin kering di tengah gurun, karena jiwa seorang pejuang sesungguhnya adalah episentrum jihad tanpa harus memproklamasikannya. Aku salut dengan ketegaran yang engkau miliki, sikap dan langkahmu yang maju tak gentar membela yang benar, bukan maju tak gentar membela yang bayar. Engkau mampu memberikan deteksi dini dan cara pandang seluas horizon manakala perspektif dan persepsi dihidangkan di meja serikat untuk dibawa pada argumentasi bernilai berlian.

Kita tak pernah berbicara panjang, kita tak pernah sapu pandang, kita tak pernah jalan bersama dan engkau juga tak dekat denganku, tapi aku selalu mengikuti gerak langkahmu yang tanpa gentar itu untuk merubah cara pandang, untuk ikut mengukir nilai sejarah bisnis perusahaan kita, untuk melawan segala bentuk kezaliman bisnis yang ingin memporakporandakan NKRT (Negara Kesatuan Republik Telkom).

Teruslah berjuang Bang. Seorang pahlawan tidak perlu harus selalu berkorelasi dengan benefit dan kompensasi karena pahala jariyah yang abang lakukan adalah khoirunnasi anfa’uhum linnass. Abang dimataku adalah orang terbaik di korps kita yang mampu memberikan nilai manfaat untuk banyak employee. Perjuangan yang abang lakukan adalah menuliskan prasasti untuk perjuangan cerita bisnis agar republik Telkom tidak menjadi batu nisan.

Aku selalu mendoakan abang, dan Allah Azza wa Jalla selalu memberikan siraman rahman dan rahimNya untuk diselimutkan pada sekeping hati yang selalu diterpa angin kering. Bahwa nilai cum laude di mata Allah adalah kado hati yang paling berlian untuk disematkan pada ketegaran jiwa yang berjuang untuk kepentingan khalayak yang berkebun di ladang ini. Pahalanya, Bang, adalah senyum dan pelukan hangat dari Allah yang penyayang tatkala kita bersujud tahajjud.

Wassalam,-

Saturday, January 05, 2008

Jenuh

Suguhan referensi sudah banyak menjelaskan namun secara praktisi perlu ada polesan untuk kriteria seorang pimpinan, tepatnya naluri kepemimpinan. Bahwa seorang pemimpin hars mampu membawa, harus mampu mengajak sudah banyak yang menjelaskannya, namun ketika berbicara tentang persamaan dan gaya, itulah yang memberikan warna sesungguhnya tentang kemampuan membawa dan mengajak itu.

Ketegasan perlu diajak dalam beberapa hal yang memerlukan payung itu, setidaknya agar pengelolaan kebersamaan tadi bisa membawa perspektif dalam persuasi. Bahwa yang terjadi kemudian adalah ketidakmampuan menyelesaikan persoalan interaksi, itulah gambaran tentang leadership yang belum matang. Riteme yang dibawa tergantung suasana peserta, tergantung siapa yang banyak omong, dan tidak bisa mencerna tentang asa dan peluang. Yang ada kemudian adalah berusaha untuk tidak terjadi riak dengan bersenandung bahwa laut tetap berwarna biru, padahal tidak jua secerah yang diceritakan dalam sketsa ruang.

Selama rentang waktu itu, semakin jelas permainan peran yang dikedepankan. Tentang anomali orang bermental banci, tentang peran dominan yang hanya jago kandang, tentang gaya preman yang bermental lontong sayur. Tentang pemutarbalikan opini, tentang ego sektoral yang merasa sebagai tokoh protagonis. Itu tidak bisa dikelola oleh gaya amatir yang menjadikan semua sebagai fragmen tanpa adrenalin. Bahwa semakin jelas duduk ceritanya, tentang kedengkian yang menahun, tentang sms (senang melihat orang susah atau susah melihat orng senang), dikompulasi dengan gaya seorang bujang lapuk yang gagah gemulai, merasa sudah menjadi bintang sinetron pendekar tak punya nyali.

Ya, kepemimpinan adalah bagian dari pengaturan itu. Sayangnya tak mampu untuk menjabarkannya apalagi merangkul untuk berjalan bersama, berlari bersama. Maka bagian yang paling mampu diterangkan adalah episode berjabat tangan, membuka senyum, lalu mengisi alinea dengan berbagai disposisi tanpa pernah menjamah solusi permanen. Bedanya hanya, preman lontong tidak lagi mengumbar gaya bicara bermental autis, atau si gagah gemulai yang semakin renta sikap, kaku gaya dan (paling tidak akan menjadi jompo tanpa nilai keluarga dan kasih sayang).

Tapi, hari tidak harus selasa melulu, hari tidak harus gulita melulu. Maka upaya adalah bagian dari pencaharian titik simpang dan mengakomodasikannya dengan transformasi cerita dan peran. Dan upaya itu adalah bagian dari pembebasan itu, dan upaya itu adalah bagin dari up grade itu, dan mengkalkulasi pada sejumlah pilihan, berlari, berjalan, dan berhenti di halte sampai ada bus yang membawa ke tujuan berikutnya.

*****

Thursday, January 03, 2008

Kabar

Kabar sesungguhnya adalah gubahan bayu yang dikumandangkan dengan frekuensi kadar telinga based on susunan kalimat yang dicelupkan pada pemahaman isian. Kabarku baik-baik saja, dan sentuhan bunyi itu memastikan bahwa ada yang sudah ditumpahkan dengan lentingan nada dan diterima dengan senyum bergaris lembayung.

Dan kabar yang membawa pada cerita jalan, cerita sepanjang jalan, cerita selama memandang, cerita selama menyapa adalah ukuran yang disematkan pada sejumlah pin dan merekamnya pada perspektif dan persepsi diri. Tak perlu jua memastikan pemahaman orang lain jika cerita hati ingin dilagukan pada senandung harap yang belum tersntuh.

Oleh-oleh dari sejumlah halte yang kusinggahi adalah penyertaan pada pandangan biru muda dan menarikannya dengan irama sentuh. Cerita dari sejumlah ruang yang kusinggahi adalah memastikan bahwa tempat yang telah kupesan adalah keharusan untuk menikmatinya walaupun sesaat dan mencoba mengabarkan pada sekeliling bahwa aku pernah ada, aku pernah datang, aku pernah sapa.

Oleh-oleh dan cerita itu sudah kukemas dan kubacakan pada sebuah prasasti bahwa setiap langkah yang kudapatkan adalah menyertakan kabar pada sejumlah jendela pandang, dan melepaskan rindu hati dengan nyanyian tanpa syair. Dan kabar yang dilepaskan adalah mengurai kata hati dengan segelas minuman dingin, mereguknya dan mengulanginya lagi sembari menjelaskan pada billboard bahwa aku pernah cerita, aku pernah kabarkan ke khasanah luas.

Lama tak berkabar
Karena musim ingin bercerita
Lama tak bercerita
Karena musim ingin menyapa
Lama tak menyapa
Karena musim ingin memandang

Bukankah tidak harus selalu pada dialektika
Ketika genggaman mampu menjamah alunan
Bukankah tidak harus selalu pada jendela
Ketika angin bertiup menyampaikan dingin
*****