Friday, February 29, 2008

Jadi Headline

Kadang kita tak meminta tetapi justru dibutuhkan. Sepanjang pekan ini aku bisa menyelesaikan beberapa tulisan serial yang menjadi highlight, setidaknya dengan asumsi dan opiniku. Dan ketika dipublikasikan terbatas ternyata salah satunya diminta menjadi headline media internal. Beberapa tulisan yang lain juga sudah dipublikasikan dan tentu memberikan nilai kepuasan ketika aku bisa menjelaskan tanpa harus berdiri. Biarkan semua mengalir seperti apa adanya, memberikan argumen selengkap mungkin.

Begitulah, semampuku ingin kusampakan pesan bahwa nilai tidak harus dikumandangkan pada penampilan, tidak jua harus dijadikan episentrum kebisaan. Biasa saja dan semua orang punya nilai setidaknya dimata dirinya dan keluarganya. Sifat egois itu lahir dari penyanjungan pada kehebatan diri yang sudah merasa tahu akan semuanya. Padahal hanya secuil dan setitik air yang cepat menguap.

Kadang aku saksikan celotehan orang yang bermental autis dan egois, merasa sudah paling pintar, padahal hanya pintar membolak balik kalimat. Lucunya lagi kalau ada orang lain yang memiliki argumen beda lantas dia mencak-mencak seperti ya itu orang autis. Sebenarnya tipe orang seperti itu hanya sebatas memproklamirkan keangkuhannya, tapi dia lupa bahwa ilmunya hanya sebatas itu. Padahal padi semakin berisi semakin runduk. Ya namanya saja orang yang tak mampu mengembangkan kearifan peran. Kelihatan dari kedengkian sikap dan perilaku yang merasa sudah menjadi setengah dewa padahal hanya sebongkah reco buntung.

Monday, February 18, 2008

Kerinduan untuk dijelajah ulang

Makin kudekap saja kerinduan itu untuk dijelajah ulang. Dan semakin kunapaktilasi dalam setiap perenungan, makin terang pula kisah-kisah yang menjahit hari sampai empat puluh halaman, ketika itu. Dan jelajah hati untuk kembali menyentuhnya memberi semangat putih untuk bisa menyapanya beberapa kalender mendatang.

Meskipun begitu, kupersiapkan jua agar semuanya dapat memberikan kesyahduan. Dan itu adalah bagian dari membasuh dan mencuci dengan seikat kembang pewangi dan kusampaikan pada sekujur diri. Bersihkanlah, beningkanlah sampai ke pusat nadi, sampai ke pusat hati dan kabarkan pada segenap bahwa persiapan memerlukan sinar matahari sekian edar untuk memastikan kesegaran dan kesiapan menjalani hari-hari pelukan dan dekapan.

Ya, rangkuman yang ingin kulepaskan adalah menceritakan tentang kehebatan samudera biru.
Ya, cerita yang ingin kusampaikan adalah mengadukan pasang hati pada pemilik keniscayaan.
Ya, sketsa yang ingin kugambar adalah melukiskan kembali cakrawala horizon yang jingga.
Ya, tulisan yang ingin kugelar adalah menyampaikan bingkisan nada untuk dilantunkan.

Pada perjalanan delapan hari, pada halaman delapan lembar, pada sejumlah disposisi yang sudah digenggam dan dihanyutkan dengan seluruh riak. Pada semua yang menjadi gurat dan garis, pada semua yang menjadi pekat nuansa, adalah sebungkus kado yang ingin kusampaikan ketika membuka pintu, dan memeluk keagungan.

Semoga menjadi putih
Semoga menjadi bening
Semoga menjadi sinar
Semoga menjadi layar
(Makin kudekap saja kerinduan itu untuk dijelajah ulang)

Monday, February 11, 2008

Persamaannya

Persamaan tentang cerita yang kau sampaikan adalah deru bayu yang menggantikan baju peran ketika engkau pun tahu jalan cerita sesungguhnya. Dan engkau juga banyak bercerita tentang berbagai sketsa di pembaringan hati. Dan dengan kata hati itu jua aku menyimak cara tutur yang apresiatif manakala sejumlah kalimat bertema kemiripan judul disenandungkan dengan keyakinan bathin.

Bahwa bagian paragraf menjadi sampiran yang menandakan kebersamaan rasa, adalah itu yang mampu membangunkan curahan rasa untuk diaduk bersama. Bahwa ada saat untuk melengkingkan nada, ada saat untuk menjaga irama. Manifestonya adalah tak lagi membuka peluang karena segala cara sudah dirumuskan dan ditandatangani, namun tetap saja bermain di seputar ranah merah hati menggumpal.

Biar saja mahkamah pengadil yang memberikan simpulan argumentasi karena sudut pandang adalah bagian dari penjelasan rasa. Dan bolak balik perjalanan hati sembari menyapa rambu kebolehan dan ketidakbolehan tetap saja memberikan simpulan bahwa memang dengki yang bersemayam di sudut sosok adalah definisi yang mampu diceritakan lewat raut wajah tanpa wudhu. Karena hatinya adalah pusat ego serba ada yang disebar melalui fitnah dan olah kalimat tanpa jeda. Itulah persamaan ceritanya, sahabatku.

Wednesday, February 06, 2008

Sinema Itu

Sinema yang diperlihatkan adalah ketidakjelasan apa sebenarnya yang ingin dijalankan. Ketegasan protagonis tak jua tampak selain hanya mencoba memberikan sebutir senyum sebagai tanda tak ada dinamika, seakan seperti itu. Padahal sejumlah catatan pantas dikedepankan, tak mampu mengeliminir, hanya bisa menyampaikan pesan di belakang pintu. Tak jelas apa warna decision yang ditayangkan dan membawa sebungkus jampi untuk dijampi-jampi.

Bagiku, kriteria itu adalah perlambang ketidakmampuan untuk membawa, ketidakmampuan untuk mengarahkan dan kegagalan untuk mengajak serta. Yang terjadi adalah rutinitas layout. Terus kalau ada yang membantah, lantas gelagapan, berputar-putar tak mampu mencari solusi dan dibiarkan mengambang. Lantas esoknya ada cerita yang sudah bisa dijelaskan, bahwa akhirnya djalankan sendiri tanpa mufakat lagi.

Begitulah, dan kebosanan melanda hampir semua penumpang. Tema cerita adalah tentang sebuah style yang tak jelas urutan warnanya. Mau hitam putih tak jua kelihatan, mau dibikin warna warni sudah pula orang melihat sebagai kejenuhan tanpa seluk beluk. Dan tidak ada yang perlu disambung kecuali sekedar menggugurkan kewajiban, mengisi kebosanan dengan peribahasa.

Ketidakmampuannya boleh jadi sudah mendekati kriteria menzalimi karena tak mampu membuka peta peran, tak mampu mengajak diskusi apalagi kalau sudah sampai sepakat untuk tak sepakat. Ketika dulu menghadapi situasi yang sama, jalan cerita tak lagi menjadi titik pijak untuk dipersamakan, minimal mengajak suara hati untuk beriringan. Itu saja tak bisa apalagi mengajak sosok, berat nian yang dibawa dengan tanjakan didepan.

****

Tuesday, February 05, 2008

Bahwa

Bukannya untuk mempertentangkannya tapi sekedar berbagi gambar, berbagi cerita, sekian bilangan tahun. Apa yang didapat selain dari datarnya jalan dan tak jua mencapai pasir pantai landai. Maka tidak salah jua kalau dipertanyakan sudah sejauh mana visi yang disiarluaskan dari sudut ruang.

Tidak ada terdengar bunyi, hanya desir suara AC yang kewalahan menampung sinar panas dan mencoba menjinakkannya. Tidak ada kabar apapun selain tetap saja bermain dengan kalender. Bahwa banyak yang menjadi catatan sudah pula yang diceritakan. Tentang ketidaksamaan, tentang jalan pikirnya, tentang gaya dan senandung keseharian yang tak jua menyimpulkan sama dengan, kecuali titik-titik tanpa koma.

Wajar saja kalau kemudian menjadi tak layak pantas, karena nilai menjadi absurd dan berlandas teori kepentingan. Dan suasana yang disantap adalah menceritakan kembali sembari memamah biak tentang cara pandang dan argumen ketidak jelasan. Dan itulah menu yang mulai dicernakan tanpa pergantian. Ternyata hanya untuk kepentingan sendiri, untuk menyelamatkan diri sendiri, berbungkus senyum tetapi tak pernah mampu memberikan solusi.