Thursday, June 28, 2007

Lapang

Lapangan adalah tempat bermain, ruang publik, dan koridor untuk memandang luas apa saja yang bisa dipandang, memberikan cahaya pandang pada setiap layar yang menjadi fokus sudutpandangnya. Lapangan hati adalah koridor untuk bercermin diri ketika kita ingin menyaksikan pertarungan ego melawan nurani.
Lapang dada adalah serat yang memberikan sinar terang untuk mematut-matut diri dan tahu diri dalam setiap unjuk diri dan mampu membersihkan sudut pandang pada kebeningan air pancuran, segar, sejuk dan menggirahkan bathin. Kepada siapa lapang dada ditunjukkan eksistensinya, tidak lain adalah kepada kebeningan itu jua, pada sosok yang mampu menjalani sinar pandang dengan terang rasa, tenang nada.
Batas maksimal yang ingin ditampilkan adalah mencoba mengais nilai itu dengan sebungkus naluri yang masih tersimpan utuh di lapis legitnya aura, bahwa suntikan halus yang menyemai pada titik nadir bisa ditunaskan kembali, seiring datangnya musim semi yang menyapa. Batas yang didapat pada persimpangan ini adalah traffic light yang memberikan ruang kesempatan untuk melanjutkan, tak perlu menoleh dan membiarkan angin menerpa dengan kecepatan sepoi-sepoi yang menidurkan.
Lapang rasa
Terang rasa
Tenang nada
Tenang aura
(Tidak harus dijelaskan kembali, pada sebuah batas yang diperoleh, kalaupun harus berlabuh, keniscayaan adalah cerita terakhir yang ingin diperoleh dengan sentuhan pelabuhan hati).
****

Wednesday, June 27, 2007

Nilai

Nilai yang dikumandangkan itu bukanlah sesuatu yang mampu mendefinisikan ukuran tiga dimensi, apalagi jika membawa bungkusan yang bernama attitude, perilaku dan estetika. Sayangnya komponen itu tidak dilekatkan dan dipaku pada setiap unsur sehingga seperti sebuah proklamasi, diumumkan lalu "tiada yang menandatanganinya" sebagai pusat pertanggungjawaban argumentasi.
Sama juga ketika bicara sudut pandang atau nilai pandang. Tidak perlu menyatakan apresiasi jika itu menyangkut penilaian sisi luar dan sosiologi yang ditampilkan bukan karena menutup pintu, bisa jadi lebih baik menyatakan tidak daripada harus menjelaskan dengan teriakan di lorong gua. Bergema tanpa ada yang mendengar.
Sudut pandang itu adalah bagian dari sikap diri untuk tidak lagi bermain di lapangan rumput, untuk tidak lagi mengayuh diri, untuk tidak lagi berlari menuju cakrawala. Setting ulangnya adalah ruang pandang yang kuingin kudekap, kucium dan kurangkul sembari mengatakan: bukanlah sesuatu yang bernilai mutlak manakala nilai itu dikumandangkan, apalagi berlabel imbuhan TER.
Dan itulah hipotesis yang tercetus dan nilai pembuktiannya adalah mengenali sudut ruang yang selalu menyatakan nilai kebenaran hakekat, bahwa itulah sejatinya nilai seperti yang tergores malam ini :
"Wahai anakku, carilah ketinggian kedudukan dengan merendahkan hatimu. Carilah kemuliaan dengan berpegang teguh pada agama. Dan carilah kodrat Allah dengan memaafkan orang lain".
Subhanallah....
*****

Tuesday, June 26, 2007

Menanti

Jalani suasana liburan, mendatangkan yang sudah dijanjikan dengan berharap dapat memberikan nilai kekentalan nuansa, dan sesungguhnya menginginkan semua menjadi nilai tambah yang diamini oleh hati nurani. Betapa, ketika ada ungkapan sudah berjalan dan disepanjang perjalanan menantikan kabar dan cerita, sesungguhnya hati merasa senang sembari menantikan jua kedatangan bersama, menghirup bersama, bercerita bersama dan mengail apa sebenarnya nilai yang hendak ditampilkan itu.
Bahwa nilai elemen yang menjadi panutan adalah untuk menjanjikan sentuhan pada apa yang disebut menikmati suasana, mengganti suasana, mencuci suasana dan berupaya melayani dengan kebeningan rasa, adalah itu yang ingin disampaikan ketika berita ketibaan kugenggam dan kupersiakan memasuki ruang untuk berbagi kabar.
(jalan-jalan sepanjang petang juga adalah untuk membagi nilai itu, maka setibanya saat, kunikmati dengan menghitung jumlah langkah dan menghampiri kesejukan untuk mengecup juice kesukaan, dan kafilah yang berjalan dan bersenda gurau adalah tampilan yang mengedepankan suasana: berbagi episode petang. Dan ananda pun tersenyum).
****

Monday, June 25, 2007

Catatan Pelangi

Puasa hari ini dengan segempal aura yang menampilkan keinginan untuk berbenah, dan alhamdulillah bisa menjelajah ruang hari dengan semangat prima. Ruang yang ingin disampaikan adalah keinginan untuk menapaki kedekatan yang sempat dicampakkan pada sejumlah catatan hari, catatan hati. Dan dengan berlindung itu, keprihatinan pada suguhan potensi adalah pengambilalihan yang memang dilayangkan seperti bermain layang-layang.
Sungguh ketidakmampuan adalah tarikan tali itu
Sungguh kelemahan adalah ketidakmampuan mengolah tali itu
Sungguh kelengahan itu adalah mencoba melepas tali itu
(Dan bermainlah dengan suguhan wayang tanpa kejelasan cerita)
*****
Menjadikan Ahad sebagai ruang untuk melepas penat, menjadikan Ahad sebagai lapangan untuk berteduh bathin dan mencoba mengulitinya dengan bermain pada sejumlah pilihan, ada dialog, ada guyonan, ada ceria, ada cerah, ada kesibukan, ada benah-benah, ada resik-resik, ada tawa, semuanya ada di lapangan yang bernama rumah dan isinya.

Sejatinya bermain adalah mencoba memahami letak sisi mana sih yang menjadikan bumbu penyedap hari, nyatanya dengan itu aku bisa kembali menyelinapkan rasa sumringah pada kedua buah hati yang perlu sentuhan hati. Kabar baiknya adalah menelisik nilai yang dilaporkan, dan pilihan si cantik kuamini saja karena bidangnya adalah di lapangan itu sementara si tomboy mendapatkan nilai yang lumayan sebagai peningkatan langkah kompetensi yang dimilikinya.
Dan jadilah hari sebagai cerahnya hati
Dan jadilah hari sebagai cerahnya nadi
Dan jadilah hari sebagai cerahnya arti
*****

Sabtu serius
Sebagai titik simpul
Sebagai titik final
Sebagai titik awal
Untuk menuju akhir
Untuk menuju terminal
Untuk menuju muara

Sabtu seru
Sebagai rancangan awal
Sebagai persiapan awal
Sebagai langkah awal
Sebagai definisi awal
(Semoga aku bisa melewatinya dengan semangat menjadi yang terbaik)
(Semoga aku bisa melapangkannya dengan semangat menjadi yang prima)
****

Friday, June 22, 2007

Ikatan, Resonansi

Ada kabar untuk berjalan, untuk bertemu, untuk bertutur, dan kuyakinkan jua bahwa bisa saja namun perlu juga dilayangkan jarak yang akan ditempuh. Adik kembar menyatakan hasrat itu dan moga-moga bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Bukankah itu bagian dari perekat, bukankah itu bagian dari kehangatan, bukankah itu bagian dari persamaan.

Membayangkan rindu tidak lain adalah membayangi ruang yang terikat pada nilai persaudaraan, membayangkan rindu tidak lain adalah membayar ruang yang tidak pernah diisi untuk sekian lama pada dialog dan tatap hati. Dan ketika semua menjadi ruang nyata, garis yang hendak dijamah adalah memperkuat ikatan, menceritakan progress dan mencoba membangun saran dengan bungkusan yang menciptakan nilai berkah.

(Thanks to Yn, dialog yang menyenangkan, memberi kabar terbaru dan menyapa dengan voice yang khas, cerita tentang headline terakhir, menambah nilai kedekatan yang bernilai.)

(Thanks to Mi, An, rampunglah tugas yang bebebankan selama sebulan ini, bagi informasi, bagi kesamaan untuk dipersamakan pada nilai yang disamadengankan itu. Plong rasanya).
******

Menceritakan resonansi adalah gema yang disuarakan tanpa harus diperdengarkan pada sejumlah bilangan anggota karena suara itu tidak mampu didengarkan pada kapasitas normal yang diedarkan. Makanya aku lebih suka melantunkan lagu tanpa harus didengarkan apalagi ditestimonikan pada sejumlah taman bunga. Lebih baik menyanyikannya dalam arung jeram sehingga teriakannya dikalahkan oleh derasnya arus yang mengalir dan membentur.

Resonansi yang menjadi judul gema hati ini adalah berupaya membayar desakan yang menyesakkan dengan mencoba memberi nilai senyum pada sejumlah halte, sejumlah pemberhentian ketika aku harus menapakinya. Bayaran itu tidaklah menjadikan diri sebagai kondektur tanpa kendaraan, hanya berupaya mengedepankan suara bahwa nilai yang diperdengarkan adalah untuk memotret patron yang selalu menjadi baju berlabel sistem.

Aku tidak lagi mengedepankan itu apalagi membahasnya. Aku hanya mencoba menghitung berapa jumlah pesimpangan yang bakal dilalui, berapa waktu yang diperlukan untuk sampai di pertigaan decision. Dan itu adalah bagian dari analisis resonansi yang mengemuka sampai mejelang titik temu untuk dilipat, digunting dan ditaburkan pada pasir pantai.

Sampai kemudian ada kapal yang merapat
Sampai kemudian ada jemputan yang menjabat
Sampai kemudian ada tangga untuk menjelang
Sampai kemudian ada selat untuk dilayarkan

(Menyelesaikan episode kamis dengan memfinalkan segala yang menjadi target hari ini, dan semuanya berjalan dengan ramah aini, ramah hati dan ramah bathin).
*****


Wednesday, June 20, 2007

Dan Kita pun

Bersua lagi dengan sobat-sobat milis yang membentangkan nilai silaturrahmi dan pertemanan yang demikian akrab, untuk merealisasikan janji yang punya hajat, ya selamat aja deh, dan selama itu menjadi ungkapan rasa syukur maka nilai berkahnya adalah semakin bersinarnya kamar hati dan cahaya mata.

Dan kita pun bersenda gurau
Dan kita pun bercengkerama
Dan kita pun tertawa bersama
Dan kita pun menyantap bersama
Sekaligus memastikan bahwa episode cerita terus saja bergulir tanpa harus menyatakan sudah sampai di bagian berapakah kisah cerita yang disenandungkan.

(Thanks to group milis yang mampu menghantar keramaian suasana dan kedamaian hati, spesial tuk yang punya gawean, moga menjadi sinar mentari jam sepuluh yang menghangatkan hari dan hati.)
****

Tuesday, June 19, 2007

Kira-kira Begini

Kira-kira begini gambarannya : Seolah menjadi presenter tetapi tidak ada pemirsanya, paling juga lingkungan yang memang sudah menjadi habitatnya, paling juga person yang sudah menjadi kru tanpa surat keputusan, paling juga gitu-gitu aja, dengan hobby suka menyetir ke arah kelabu hatinya.

Merasa seperti pilot dengan baju berlabel mentang-mentang, sepertinya dialah yang tahu segalanya, dan mampu menguasai fenomenanya, padahal hipotesis sudah menyatakan begini : pengaruh arogansi diri terhadap cakrawala pandang, adalah bagian dari kealpaan yang menggantungkan antipati pada sejumlah definisi.

Hobbynya suka menghasut, dan label iri pantas ditaruh di ruang dadanya yang merasa sudah menjadi mahatahu, mahapintar dan mahayakin. Padahal kekerdilan jiwanya mendapatkan porsi di lintas diri dengan sebutan : Kaciaan deh lu, hanya bisa beberkan omongan murahan, ternyata bermental tempe, dan ini yang bergaris tebal : pintar mengolah kata dengan menggoreng kebusukan hati dan menaruhnya di setiap sudut bertuliskan : 100% halal untuk dicerca.

Ketika semuanya ada di sinar mentari jam duabelas ; lagi-lagi pintar mengganti raut wajah dengan berdalih pada sejuta asumsi, padahal ruang hatinya yang hitam legam itu sudah menuliskan sebuah puisi : pembusukan di lintas periferi yang menghitam pelan.
****
(Thanks to all fren yang sudah mengetahui jalan ceritanya, thanks juga atas simpatinya).
(Thanks to Sf, janjiannya moga-moga menjadi berkah tersendiri untuk persahabatan yang menyenangkan).

Seutuhnya

Seutuhnya adalah yang menepikan hasrat
Untuk tidak lagi mengatakan kelanjutan
Untuk tidak lagi melanjutkan cerita
Untuk tidak lagi menuliskan mentari pagi
Untuk tidak lagi membacakan testimoni

Sejauh itu yang menjadi proklamasi diri
Bahwa ternyata hanya bermain di logika diri
Bahwa ternyata hanya berenang di kolam keruh
Bahwa ternyata hanya berjalan di atas awan
bahwa ternyata hanya berselancar di tikar usang

Tidak lagi untuk digenggam
Tidak lagi untuk direngkuh
Tidak lagi untuk dipeluk
Tidak lagi untuk dikulum
Tidak lagi untuk dikecup
Karena hanya ada di sendi riak
Yang tidak dapat di reka ulang
Dan sudah menjadi fosil tanpa rangka
(Bahwa itulah kadar yang menjadi kepekatan rasa)
****

Monday, June 18, 2007

Berjalan, Bercerita, Berkisah

Berjalan kembali ketika mentari belum berjabat tangan di pagi Ahad nan cerah ini, berpacu dengan semangat keceriaan memandikan jalanan pantura menuju rancangan piknik yang telah dirajut selama sepekan ini. Dan meluncurlah, dan berlarilah, dan berceritalah, dan bersendaguraulah bersama keluarga, menjelaskan titik-titik pesona yan didapatkan sepanjang rute signifikan. Kulalui dengan apresiasi, kulaluii dengan kegembiraan, melewati suasana seharian penuh melintasi jalan-jalan penuh pesona.

Sungguh sebuah traveling yang menyenangkan, melewati kawasan Pml, Rdk, Gc, Mg, Prbl, Bjn, Wns dan kembali dengan semangat yaang sama, semarak dan memuaskan semua walau selimut malam telah membentang. Ya, tentu saja letih namun masih dapat dibungkus dengan rasa puas dan riang hati, sepanjang jalan bertutur kalimat, beradu argumen dan memberikan cakrawala pandang tentang nilai kebesaran alam, keramahan alam, dan kedigdayaan yang dimililkinya.

Kukatakan dengan ketus pada semuanya, bahwa makna perjalanan ini adalah mencoba memahami nilai kebesaran itu dan memperteguh khasanah aqidah bahwa ciptaanNya sungguh Maha banget, Hebat banget, Wonderfull banget, dan pada semua itu terdapat personifikasi yang pantas untuk disematkan dalam ruang hari dan kamar sanubari, yakni menambah rasa tahu diri yang sebenarnya.
*****

Bergabung kembali setelah di etappe lalu memisahkan diri dengan konsentrasi masing-masing. Dan ketika bersua, jabat tangan dan senyum full color melukis suasana, riang, penuh canda dan biasalah selalu ada yang menjadi headline atau highlight. Maka cuaca Sabtu adalah suhu terbaik yang dimiliki selama sepekan ini ketika dipertemukan dengan hati dan asa. Campurannya adalah menandatangani kesepahaman pada nilai kebersamaan dengan keinginan untuk sampai di titik jalan akhir.

Pada sebuah senyum, gairah yang dikumandangkan adalah menyanyikan syair-syair modul yang menjadi bahan bacaan berikutnya. Kusimak dengan semangat diri sembari berharap akan mampu mencernanya sebagai etappe terakhir dari sekian yang telah kulalui sampai di batas ini. Paling tidak aku telah sampai di sudut batas dengan satu kayuhan lagi tiba di seberang cemerlang, moga-moga.
******

Kalaupun harus dilalui, jalannya adalah meluruskan sikap dan tidak ingin menatap mata elang yang telah menorehkan kerikil pada anak tanggaku. Kepastian untuk menjalani itu adalah bentangan hasrat yang bermain di seputar argumen untuk menjelaskan duduk cerita tanpa harus menjelaskannya lagi.

Pelajaran adalah membuka halaman baru namun bukankah halaman lama juga bagian dari cerita itu sehingga tetap saja akan menafsirkan cerita tanpa jeda dan rehat sejanak. Bukankah paku yang pernah dihunjamkan pada sebuah pohon ketika dicabut tetap saja masih ada bekas tusukan itu. Bukankah penceritaan itu telah menghunjam titik ulu hati dan kemudian dinyatakan sebagai sebuah hal yang biasa padahal menjadi luarbiasa, lalu ada permintaan untuk tidak melanjutkan, lalu ada jabat dan peluk, bukankah itu menandakan keluarbiasaan yang senantiasa diproklamirkan sebagai arogansi berwajah ganda.

Pesan Bunda yang terngiang adalah : luruskan saja sikap dan langkahmu, bukankah itu adalah nilai yang hendak diujikan pada titik dimana engkau harus menyelesaikannya dengan ketegaran diri. Ya, benar, dan kebenaran adalah definisi yang tak akan pernah ditolak pada moral sanubari dan senantiasa dinyatakan dengan penjelasan kamar hati yang berbisik di tengah malam.

Dan halaman berikutnya adalah memastikan tataran diri tidak lagi bermain dengan pasir di pantai, tidak lagi memompakan pemberdayaan, tidak lagi menyenandungkan lagu, tidak lagi memainkan biola, tidak lagi menyatakan warna. Sudah habis bab yang ingin dibaca, sudah habis baris yang hendak digaris, sudah habis cerita yang hendak dicoret.

*****
Rinjani itu indah
Ketika matahati mampu menjelaskannya
Dengan seratus delapanpuluh derajat sudut pandang
Indah
Mempesona
Melambai
Kotaku
Jarang kunikmati
Menafsirkan suasana bathin
Bahwa pemandangan adalah karunia
Bahwa view adalah anugerah
Dan penjelasannya di bilik hati
Dan penceritaannya di kamar sanubari
Dan pencuciannya adalah birunya langit
Dan pencerahannya adalah hijaunya pandang
Rinjani itu indah
Walaupun matahari menjelaskannya dengan terik
*****

Friday, June 15, 2007

Hujan Hati


Hujan hati adalah mengalirnya sejumlah ungkap
Hujan hati adalah mengalirnya sejumlah bait
Hujan hati adalah mengalirnya limbah umpat
Hujan hati adalah mengalirnya bening air
Hujan hati adalah mengalirnya baris rasa berbanjar
Hujan hati adalah mengalirnya adonan hasrat menimang
Hujan hati adalah mengalirnya aneka warna merona merah
Hujan hatiku adalah mengalirnya semua rasa yang membunga
****

Tidak Lagi

Tidak lagi untuk dipersamakan
Tidak lagi untuk dipersandingkan
Tidak lagi untuk dipersembahkan
Tidak lagi untuk diungkapkan

Apapun itu
Kesetaraan adalah adalah nilai terdepan
Bahwa kemudian di persimpangan ada restriksi
Itulah bagian dari ketidaksamaan yang engkau bangun
Itulah bagian dari ketidaksamaan yang engkau katakan
Itulah bagian dari ketidaksamaan yang engkau sumbangkan

Tidak lagi
Walaupun setangkai bunga engkau kirimkan
Walaupun sebungkus kado engkau bingkiskan
Walaupun sepucuk kalimat engkau ulang-ulang
Walaupun segenggam senyum engkau limpahkan
Tidak lagi
Tidak akan lagi
****

Adalah Itu

Cerita tentangmu adalah mengais tentang kebersahajaan yang disandingkan dengan pengertian yang luar biasa tentang nilai perekat kekuatan personal. Aku rasakan itu manakala menjabat erat kedekatan yang dibangun dengan sentuhan kerapihan nuansa dan sinar mentari jam sepuluh. Hangat, menyenangkan sekaligus juga mampu menyentuh ranting ruang berkoridor luas. Apakah kemudian nilai yang dibangun menjadi hipotesa atau menjadi analisis kuantitatif tidaklah dalam konteks sama dengan atau sama dan sebangun. Ruang yang dibentang adalah berupaya menemani dan menjalani semuanya based on aplikasi, tidak sekedar wacana bertemakan analisis pengaruh kehangatan mentari jam sepuluh terhadap kebugaran diri.
Bukankah sinar mentari jam sepuluh cukup menghangatkan
Bukankah sinar mentari jam sepuluh cukup menyinarkan
Bukankah sinar mentari jam sepuluh cukup memberikan keringat
Bukankah sinar mentari jam sepuluh cukup menggairahkan
Adalah itu jua yang menjadi cara aku memandang jalan-jalan lintas personal ketika terminal di hadapan memberikan nilai kesejukan, tanpa harus memakai jaket, tanpa harus memakai selimut, tanpa harus menebalkan baju. Adalah itu jua yang menjadi ruang waktu ketika aku menimbang dan menimang asa, rasa dan nada. TIdaklah selalu harus menyatakan hasrat manakala kesamaan pandang dan cara sudah memberikan nilai perekat itu. Dan itu jua yang menjadikan cerita menjadi jalan-jalan sepanjang jalan, jalan-jalan sepanjang rasa.
*****

Tuesday, June 12, 2007

Catatan Bening


Bening itu adalah kedamaian
Bening itu adalah kepasrahan
Bening itu adalah ketulusan
Bening itu adalah kejernihan

Selasa bening adalah menjalankan langkah dengan kepastian diri bahwa niat yang dibungkus ketika mengucapkan salam dan meninggalkan halaman untuk kemudian memasuki ruang adalah anak tangga yang mampu menjelaskan makna niat yang dikumandangkan. Untuk berlaku dan berlakon dengan be carefully dan sekaligus memastikan untuk never again pada sejumlah tanya, pada sejumlah ajakan, pada sejumlah harapan, pada sejumlah bilangan hari. Karena sikapku sudah jelas, ingin menghitung hariku sendiri dengan langkah bening.

Tidak lagi untuk memproklamirkan sentence atau apa yang menjadi evidence ketika pengumuman sudah menjelaskan makna dan langkah. Tidak lagi menjual, tidak lagi menjaja, tidak lagi berjemur, tidak lagi memutar lagu atau apapun. Tidak lagi untuk menghitung langkah. Aku hanyan ingin langkahku bening, itu saja.
*******

Monday, awal hari kumulai dengan kesibukan untuk menyemai rangkaian pekerjaan yang masih terputus, berkonsentrasi dan mengambil peran lebih khusyuk untuk menjalankan penyelesaian. Aku harus menyelesaikan target yang menjadi bagian dari layout itu, maka bergegas aku untuk mendapatkan finishingnya dan walaupun belum selesai setidaknya menjadi bagian dari kesibukan itu.

Dan berjalanlah hari
Dan berjalanlah nadi
Dan berjalanlah inspirasi
Dan berjalanlah hati
Dan berjalanlah suasana
Dan berjalanlah matahari
(Tak terasa senja menghantar kepulanganku, letihpun mengguyur sekujur).

******

Sepanjang malam tadi menyapu pantura yang ramai dan pagi ini mencapai kota kembang yang bening, menjumpai bunda dan memberi setangkai bunga untuknya. Ya, bunda kusempatkan untuk menjengukmu yang renta untuk menghapus rindu, untuk membeningkan hati, untuk membeningkan rasa, untuk membeningkan dada.

Betapa rangkaian kalimatmu yang kugenggam dan kuikat sebagai bekal, agar hati ini selalu putih, agar hati ini selalu jernih, agar hati ini selalu bening. Kalimatmu yang terukir adalah agar memandang semua handicap sebagai penyemangat jalan. Tidak harus diopeni apa yang menjadi cara pandang orang, yakini saja dengan hakekat dan nikmat kehidupan yang diberikanNya pada kita. Betapa sejuk, betapa bening lantunan kalimat itu sampai dan terbungkus di telinga mata hatiku.

Kota bening, kembang bening, hati bening, dan perjalanan pulang dengan Harina memberikan kelegaan pada udara hati dan mampu memulaskan tidurku sampai menjelang tiba.
*****

Menjalani aktivitas dengan fokus penyelesaian exam dan tentu saja dengan berupaya merengkuh beningnya sinar Sabtu akhir pekan yang mencerahkan. Kuselesaikan semuanya dengan semangat bening, dan melanjutkannya dengan percakapan bening, melayani guyonan teman dengan kacamata bening, untuk memberikan suasana yang mampu memberi semangat hati ini.

Perjalanan bening adalah mengkaitkannya dengan irama hati pada perjalanan yang mengesankan, yang membungakan, yang membahagiakan, yang membeningkan dengan merengkuh, dengan meraih perolehan pada sambutan yang bernilai bunga dan menafsirkan liku-liku inner city bersama keyakinan diri.

Duh, betapa ada yang mampu bersinar
Duh, betapa ada yang mampu bercahaya
Duh, betapa ada yang mampu bersahaja
Duh, betapa ada yang mampu bercerita

(Thanks to all fren yang mampu membagi kebersamaan dalam langkah menguji kemampuan cerdas kita. Semoga menjadi sarana untuk lebih rapat lagi dalam menjalin silaturrahmi)
******

Banyu Bening menghantar kehadiran ketika matahari menjelang titik tertinggi Jumat Siang ini, dan perjamuan ini adalah perlambang, adalah ikatan, adalah penyambung, adalah pemanis rasa. Lebih dari itu, juga adalah pengantar catatan bening. Ya, harusnya kunikmati lunch siang di keteduhan dan keceriaan, membagi cerita, membagi suasana, dan berbagi warna. Beningnya banyu bening mampu membeningkan ruang, mampu membeningkan kamar, mampu membeningkan wajah dan tentu saja ketibaan ini bukanlah sesuatu yang sia-sia melainkan sebagai bagian dari rancangan yang lebih sering tertunda.

Maka mengalirlah ungkapan
Maka mengalirlah visualisasi
Maka mengalirlah celoteh
Maka mengalirlah bait kata berikat lagu tubuh

Kedekatan itu menjadi bukti bahwa pertemanan kita adalah ikatan yang menjalin nilai silaturrahmi pada sejumlah titik yang kita lewati bersama. Dan anugerah itu layaknya sebuah reward bagi terciptanya suasana saling memahami, saling mengerti dan saling menjaga. Kuhirup saja udara banyu bening, tanpa harus tergesa-gesa karena ingin menikmati suasana yang membeningkan ini, membeningkan mata hati, membeningkan rasa hati.
*****

Friday, June 08, 2007

Puisi Pekan Lembayung

Puisi Pekan Lembayung (4)

Menikmati pernik dengan catatan tanpa koma
Menikmati keniscayaan tanpa harus menyingkap asa
Menikmati alunan tanpa harus memiliki syair
Menikmati syair tanpa harus memakai bait

Kepastian adalah jawaban atas segala penilaian
Dan itu tidak berarti menjadi garis angka atau huruf
Apapun itu, adalah titik tanpa lanjutan
Apapun itu, adalah terminal tanpa lanjutan
Apapun itu, adalah halte tanpa sambungan simpang

Dan tidak usah lagi disinari ungkap dan ucap
Dan tidak usah lagi dicahayakan dengan senyum lapis legit
Dan tidak usah lagi dihangatkan dengan kalimat bersayap
Dan tidak usah lagi diceritakan dengan tembang penyejuk

Pada sejumlah kisah
Pada sejumlah bab
Pada sejumlah paragraf
Pada sejumlah pasal
Sudah tertera materai penegasan
Untuk apa lagu dilantunkan
******

Puisi Pekan Lembayung (3)

Secerah apa yang ingin dibuktikan pada sejumlah hari
Meskipun terik mampu menghantarkan keringat tengah hari
Tak kan lagi menyatakan hasrat untuk dilombakan
Takkan lagi menyatakan tekad untuk bertahan di ruang pengap
Tak kan lagi mengumumkan aura rasa dibungkus kembang mawar

Tidak lagi
Pada apapun sejumlah kalimat yang dihantarkan
Pada sederet kisah yang bertuliskan rasa yang begitu dalam
Pada biru langit
Pada biru angin
Pada biru nadi
Pada biru catatan hati

Tidak lagi
Pada apapun yang terlontarkan dari manisan pace
Pada segelas teh manis hangat yang dihidangkan
Pada sebungkus kado yang dibingkiskan
Pada sebongkah prasasti yang diumumkan
Tidak lagi
(Dan aku memilih untuk berkemas)
(Dan aku memilih untuk berangkat)
*******


Puisi Pekan Lembayung (2)

Kita pahami sebagai anugerah
Kita pahami sebagai gumpalan kelabu
Kita pahami sebagai ungkapan nada
Kita pahami sebagai riak menuju pantai
(Aku hanya membisu dan mendengar)

Apakah sejauh itu penafsiran yang dibuktikan
Bukankah sejalan hari ada haru dan hore
Bukankah sepanjang hari ada haru dan hore
Bukankah sedalam hati ada kehati-hatian
Bukankah sebesar asa ada ruang untuk rasa
(Kukatakan itu pada sosok yang berhati emas)

Biarlah, katanya
Toh ada yang menjanjikan cerita bersambung
Toh akan menjadi bagian dari bab penulisan
Toh akan menjadi paragraf garis tebal
Tanpa harus dicatat ulang
Tanpa harus dicat ulang
Tanpa harus diulang
(Sejumlah nada pun dikumandangkan)
*******

Puisi Pekan Lembayung (1)

Hanya sejumput itu
Pada kalimat yang terlontarkan
Pada seraut yang terdampar
Pada segenggam kepal yang menggumpal

Hanya sebatas itu
Dan mentari lembayung menyapa
Tak perlu diberi awan
Tak perlu diberi hujan
Tak perlu diberi ombak
Tak perlu diberi bayu

Hanya sejengkal itu
Dan menorehkan asa biru malam
Tak jua menyapa hati
Tak jua mengetuk pintu
Tak jua menyemarakkan kata

Wajah itu
Adalah rona yang menggelembungkan
Adalah garis yang menyiratkan gundah
Adalah coretan yang menyapu nadi
Adalah yang tak tertumpahkan
Ketika sendu memeluk diri
******

Friday, June 01, 2007

Betapa, Ternyata

Titik Tuhan itu kucerdaskan lagi ketika Jumat pagi ini menghadiri tausiah bersama ustad terkenal yang berceramah di sekolah ternama kota ini, sekalian melunaskan undangan yang disebarkan. Bahwa matematika Tuhan yang dijelaskan adalah bagian dari pembelajaran sanubari bahwa tidak semestinya kita berkiblat pada asas ruang pandang eksakta seperti misalnya 10-1 itu tidak harus sembilan, bisa jadi sembilan belas.

Dan itu hanya bisa diyakini ketika kita mengapresiasikan dengan keyakinan bahwa nilai berkah dan manfaat dari kacamata aqidah adalah kemutlakan yan akan menjadi pijakan bekal. Ruang mimpi yang sering digelar pada saat kita tidur pulas adalah bagian dari pembelajaran rohani bahwa ada alam bawah sadar yang berada di luar kontrol untuk meyakini kita bahwa nilai kehidupan itu adalah dalam rangka fastabiqul khoirot.

Apakah kita yang diberi kesempatan hidup ini memiliki raga yang dibungkus ini, jawabannya adalah tidak. Jika ya, buktinya adalah kita tidak bisa mengontrol denyut jantung kita, kita tidak mengatahui proses pencernaan di tubuh kita, semuanya berjalan otomatis dan sudah berproses sendiri. Tak sadar jua kita setiap saat menghirup oksigen gratis, tanpa diatur dan gak pernah lupa. Ya kalau lupa bisa game dong dan itu satu bukti bahwa kita hanya diberi pinjaman.

Subhanallah, betapa nestapanya aku
Subhanallah, betapa papanya aku

******
Menyeterika hari dengan konsentrasi membuat yang 40 halaman itu sekaligus mencoba memahami hakekat dan analogi yang disimak. Kucoba mencernanya dengan semangat penyelesaian dan kalau boleh jujur belumlah maksimal yang kuperoleh dan kudapatkan setidaknya sampai Kamis ini.

Namun hari juga akan menjelaskan nantinya, bahwa pola yang hendak dipatrikan adalah berupaya memahami konten dengan berjibaku sendirian, mengerjakan sendirian, memahami dengan keyakinan, bahwa ini adalah bagian dari penambahan itu yang seharusnya memang dikunyah sendiri.

Ketika aku sedang asyik dengan panorama ini barulah kuyakini ternyata memang asyik juga menjelajah paragraf demi paragraf dan menjalinnya dalam satu kesatuan yang setidaknya mampu membuat aku puas hati dan berkeyakinan untuk bisa mempertahankannya kelak. Bahwa ketika belum dimulai dan malas untuk memulainya adalah handicap yang akan terus menghalangi. Dan hanya dengan modal pede dan keyakinan semuanya dapat dijalankan dengan semangat ”aku harus bisa maka aku harus kerjakan”.

Dan ternyata demikian lancarnya aliran yang mengalir
Dan ternyata demikian luasnya adonan yang dilumuri
Dan ternyata demikian asyiknya bercerita dengan rasio neon
Dan ternyata demikian cerdasnya kalimat yang digariskan
******