Friday, March 11, 2011

Selamat Jalan Bang Nelman

Masih ingat jelas ketika waktu itu kita merambah Subulussalam, dengan sejumlah perlengkapan "tempur" untuk meningkatkan kualitas nadi perhubungan wilayah itu. Masih ingat jelas ketika abang mengingatkan agar agak menjauh dari drum-drum premium diatas Datsun untuk menghindari musibah api rokok. Masih ingat jelas ketika perjalanan kedua membawa segepok uang untuk membayar semua yang terkait dengan biaya peningkatan nadi perhubungan itu, namun tak pernah sampai di tujuan karena Dump Truck mengalami kecelakaan di Bandar Baru.

Abang adalah pembuka cakrawala manakala pengajaran tentang daya hidup dan titik simpul sebuah episode memberikan ruang jelajah bagi catatan-catatan di kemudian hari. Bahwa ketegasan dan kelugasan diperlukan untuk menjelaskan warna makna agar bisa menjadi mata kuliah bagi sosok hati yang haus bimbingan dan argumen.

Semua itu mengalir deras dan bening manakala menghampiri Abang meniti koma di Hasan Sadikin di hari ke 24. Inilah sebuah sakit yang bisa dijelaskan dengan ayat suci bahwa perjalanan di batas portal adalah untuk membersihkan sejarah perjalanan yang mungkin saja sempat ternoda dengan sikap dan ucap, mungkin saja, karena kita adalah insan yang bernama manusia. Bahwa Allah SWT punya cara untuk menyayangi hambaNya yang berhati bersih, Dia cuci dulu melalui sakit 40 hari untuk kemudian melanjutkan perjalanan damai menuju haribaanNya.

Begitu sayangnya Allah sama Abang, hari pamit pun Dia khususkan pada sebuah Jumat pagi, sebuah hari suci dan hari raya untuk menghantar Abang menuju pangkuanNya. Semua saudara menyatakan abang adalah orang yang baik hati, apa adanya. Semua handai tolan mengatakan Abang adalah sosok yang sederhana dan tak pernah menyakitkan orang lain. Semua kerabat mengatakan Abang adalah pribadi yang mengedepankan argumen jernih tanpa ada spanduk arogan. Ini adalah testimoni yang sudah sampai di telinga Allah.

Ketika aku bisikkan dan bacakan ayat-ayat suci di telinga abang yang tergolek, ada titik airmata di sudut mata itu, ada denyut yang memburu diantara selang pernafasan yang masuk ke tenggorokan, ada genggaman, ada respons untuk mengamininya dengan bahasa tubuh. Ketika aku bisikkan tentang hari depan keempat buah hati yang membanggakan, Abang menggenggam lagi seakan hendak memastikan bahwa itu adalah benar. Dan memang benar karena mereka adalah sosok yang berkarakter dan mandiri untuk menggapai hari depannya.

Selamat jalan Bang
Abang diantar oleh kaum kerabat dengan isak dan doa
Abang dijemput Pemilik dengan sirothol mustaqiim
Selamat jalan ya Bang
Semoga Allah menyambut Abang dengan pelukan hangat
Karena Abang adalah kehangatan itu sendiri.
****
Smg, 10032011

Thursday, March 03, 2011

Seyogyanya JOGJA

Jogja adalah spektrum, yang menggariskan beragam episentrum episode apakah dia berwarna kultur, pendidikan, kedamaian, kebersamaan, ketenangan dan kerupawanan. Jogja sesungguhnya adalah Indonesia itu sendiri yang senantiasa mempersolek diri dalam kesederhanaan khas untuk diwadahkan bersama, untuk semua dan demi semua.

Lihat saja infrastruktur jalan raya, Jogja telah mempresentasikan kehebatan infrastruktur jalan raya mulai dari kelas nasional sampai kelas kabupaten, semuanya mulus, bergaris dan menyenangkan. Tidak ada jalan bolong, semuanya terpelihara. Inilah salah satu contoh kepemimpinan yang baik dan bijak dari seorang Sultan yang berpenampilan sederhana.

Kalau boleh memilih, Jogja nomor satu dalam jaringan infrastruktur jalan raya, terbaik. Mau bukti, silakan masuk dari Yogya via Wonosari, Klaten, Muntilan, Wates, dari segala penjuru angin, lalu berjalanlah menelusuri seluruh jalan pelosok, dan nikmatilah kualitas jalan raya yang terpelihara dengan baik. Jogja telah membuktikan semboyan : Tahta untuk rakyat.

Lalu lihatlah Kantor Gubernur, Kantor DPRD dan wajah keraton. Adakah perubahan, jawabnya tidak. Sejak jaman kemerdekaan gedungnya itu-itu saja, sederhana, ala kadarnya dan tidak terpengaruh dengan detak perjalanan. So, kalau mau diperbandingkan dengan bangunan Kantor Gubernur dan DPRD daeah lain, maka dipastikan yang punya Jogja berada di urutan bawah. Sekali lagi Jogja telah membuktikan : Tahta untuk rakyat.

Jogja adalah kesederhanaan
Jogja adalah seyogyanya
Seyogyanya kita memperlakukannya dengan kedamaian
Seyogyanya kita memeluknya dengan mata hati
Seyogyanya kita mengariskannya dengan nurani
Bukan mengobok-oboknya untuk sebuah sentimen politik
Bukan mengaduk-aduk air yang sudah bening
Karena Jogja adalah Sultan
Dan Sultan adalah Jogja
****
(Jogja- Semarang, Peb2011)

Wednesday, March 02, 2011

Bulan BintangTitik Terang

Aku perjuangkan dengan sekuat nadi walaupun harus merebus langkah dengan keringat bathin. Tak apa-apa karena aku yakin Tuhan ada di setiap sudut pandang ke mana pun aku memandang. Perjuangan ini untuk menjelaskan pada jamaah bahwa rumah ibadah kita adalah pintu tol untuk mensucikan aliran bukan untuk dibahasakan sebagai owner berlagak arogan.

Perjalanan telah menjelaskan bahwa nilai hakiki sebuah perjuangan tanpa pamrih adalah menikmati peran istiqomah dengan sandingan ikhlas dan bersandar pada kebenaran historis. Untuk dikemas dengan sertifikat yuridis bahwa ini adalah wakaf para ulama terdahulu yang harus diselamatkan agar ego yang dikumandangkan selama berpuluh tahun redup dan berganti dengan kesadaran diri.

Semoga Allah meridhoi perjuangan ini
Semoga Allah menggariskan nilai kebenaran yang hakiki
Untuk masjid bersejarah ini
Amien,-

(02032011)

Kali Gendol, Sebuah Siang

Jalan basah adalah kehati-hatian manakala sepanjang jalan di tengah remang memantulkan cahaya bias bagai cermin yang memantul, ketika pulang. Begitupun nikmatnya suasana ini adalah keceriaan bersama bunga hati dan buah hati mengikuti petunjuk yang tak perlu diarahkan karena jalan yang dilalui telah sampai tanpa rencana.

Ya tiba-tiba saja kita ada disini dengan bukit pasir yang diantar amarah Merapi. Betapa dahsyat muntahan yang kau lemparkan sampai menimbulkan titik belerang panas di beton perkasa ini. Amarahmu menjadi berkah karena ratusan truk siang ini mengutili sekaligus menguliti muntahan yang engkau ledakkan.

Bahasa Tuhan bukanlah sekedar ungkapan tetapi evidence pada sebuah contoh di sebuah aliran untuk dipertontonkan dengan tntunan nurani iman bahwa sesungguhnya kita bukan pemilik, bukan penguasa. Kita hanya pemakai, kita hanya pengguna, tanpa perlu menyewa, tanpa perlu ongkos untuk menumpang karena Tuhan tak memerlukan rupiah kita.

Bukankah tontonan ini untuk mengajak nurani
Bukankah pemandangan ini untuk meraih nurani
Bukankah aliran ini untuk menegaskan keperkasaan
Bukankah kerumunan ini untuk memberikan baju nilai diri
Bukankah itu Tuhan...

(Yogya, 28022011)