Thursday, November 29, 2007

Titik

Bukankah titik adalah akhir, bukankah titik adalah usai tanpa jeda, bukankah titik adalah closing dan sekaligus menyudahi. Dan gumpalan yang dibawa bersamanya adalah menghempas cakram dan menghunjamkannya pada kedalaman ruang gelap. Dan jangan coba untuk mengolesnya dengan parfum atau bumbu penyedap, atau barangkali mencoba mengangkatnya kembali.

Dan hari yang engkau lalui adalah semesta yang tak mampu mengusir awan apalagi menyentuh dinding kebersamaan, betapapun engkau berupaya untuk memutihkannya. Karena ukiran tentang sosok dirimu adalah perlambang, adalah ikon yang telah mengoyak dinding yang lain selama unjuk sapa dan persentuhan ketidaksetaraan. Engkau adalah kedurjanaan yang mampu menjadi iringan doa, karena engkau adalah kezaliman itu sendiri. Engkau adalah pembawa titik yang tak dapat diteruskan dengan rayuan berwajah sendu seperti yang kau perlihatkan sebelumnya.

Engkau adalah simbol yang telah mencabik. Engkau adalah episode pertunjukan tiga tahun tanpa rehat dengan peran matador tanpa stadion. Yang engkau tunjukkan adalah kehebatan subyektivitas yang sesungguhnya adalah proklamasi keangkuhan tanpa fundamen etika. Etika itu yang telah kau sedot pada sekujur pengulitan diri tanpa merasa telah melakukan transfer pengkerdilan predikat. Dan predikat yang pantas digandeng di sekujur nadi hatimu adalah keangkuhan dengan bumbu penyedap yang bernama kerdil bathin karena engkau telah mengilhami tidak mampunya mengendalikan tata suara.

Dan titiknya adalah jelajah tanpa perlu menyinarkan jingga. Dan titiknya adalah eksplorasi tanpa kepesertaan naluri tenggang rasa. Biar semua tahu bahwa sikap adalah pengumuman pada sejumlah mata angin yang masih mampu menebarkan senyum, dan sekaligus mengirim salam usai tanpa jeda pada sebongkah hati yang tak memiliki nurani. Itulah engkau.
****

Monday, November 26, 2007

Keniscayaan

Engkau Adalah

Dataran tinggi yang disapa adalah menjelaskan suasana dialog dengan keramahan yang dijunjung sembari menghirup udara segar yang menebarkan keakraban nilai perjalanan. Ya, seperti untuk menyelesaikan janji, seperti untuk mengamini permintaan dan sekaligus menjawab ulangan pertanyaan, maka sambutan yang digelar sepanjang jalan adalah menilai kualitas janji dan mencoba menaruhnya kembali pada keranjang persepsi. Dan seperti biasa ketika menyapa dan disapa, adalah kesederhanaan yang bernilai silaturrahmi elegan yang engkau pertontonkan dihadapan, menyambut dengan senyum sembari bertutur kata yang menyejukkan.

Engkau memang kesimpulan itu
Engkau adalah kesederhanaan itu
Engkau bernilai kejernihan itu
Engkau mampu menjaga nilai perekat itu
Engkau persepsi substansi berlapis legit
*****

Logika yang hendak kau jawab

Logika yang hendak kau jawab adalah mendefinisikan kembali rantai yang belum lepas dari geriginya. Dan perjumpaan yang diinginkan adalah merajut tepian tanpa benang penyambung. Bagaimana sih logikanya, jelas menjadi sesuatu yang abstrak karena tidak ada yang mampu dipercikkan pada kanvas untuk menjadi lukisan. Tidak jua yang memaknai alinea, manakala hanya sebuah pertanyaan berbasis pernayataan yang tak perlu dijawab.

Oleh itu tidaklah ada sesiapa yang mampu untuk menjawab ruang tanya yang disiapkan sampai tiba saatnya ketika matahari harus pamit di batas cakrawalanya sembari titip pesan : toh aku akan tetap hadir di subuh esok menyambut kukuruyuk ayam jantan sekaligus mendefinisi ulang makna yang belum selesai.

Ya itu saja jawaban tanpa harus mengatakan. Toh sebuah janji tidak pernah melewati batas kesetiaan sebuah matahari yang selalu menjaga estetika kehadirannya. Dan perjanjian yang disepakati bukanlah untuk sekedar menandatangani, namun lebih dari itu, bahwa pagarnya adalah kemampuan untuk menjaga kesepakatan dan bermain di koridor itu. Dan logika definisi yang dikumandangkan tidak jua memastikan untuk merajut benang penyambung.
Maka jangan ada pemaksaaan untuk menyatakan definisi.
*****
Segumpal Kepal

Ada persamaan yang dikumpulkan manakala cerita pagi empat mata dibungkus dengan bahasa kesamaan pandang, apalagi kalau bukan tentang tema pergulatan lini tengah yang menjadi terpaan angin sepanjang musim. Semakin jelas saja jalan ceritanya, semakin luas saja rangkuman kisahnya, tapi aku tak perlu untuk menggoreskannya lagi, tak perlu untuk merambah wilayah hegemoninya karena toh sudah banyak yang tahu tentang jalan ceritanya. Bahwa dia adalah segumpal kepal, bahwa dia adalah seonggok tinju yang melunglaikan mental gabusnya. Dan dia memang gabus.

Bahwa kemudian ada persepsi yang sama adalah sebuah sama dengan. Bahwa kemudian ada jalinan yang dirangkum menjadi cerita searah tidak lagi menjadi jalinan titik bergaris tebal, karena semua yang dijelaskan itu, semua yang di curhatkan itu adalah persamaan linier yang menghasilkan kesimpulan idem. Maka cerita pagi empat mata itu adalah merangkum semua definisi dan menyimpannya dalam flashdisk kamar hati untuk diceritakan kembali kepada sanak saudara yang bermukim di hati. Agar mereka tahu tentang tema yang sudah menahun, agar mereka tahu tentang arogansi peran, agar mereka tahun tentang mental telunjuk lurus kelingking berkait. Agar mereka tahu tentang mental gabus yang dimilikinya. Hanya segitu saja.
*****

Titian hati

Pasanglah rindu di trotoar coklat sepanjang pagi
Niscaya sambutan akan mampu menepikan riak
Pasanglah sendu di seberang titian hati
Niscaya sambutan akan mampu menjanjikan teriak
(Pada sebuah argumen, pernyataan sikap yang menghidupkan suasana adalah sampling yang menyatakan prediksi berbasis hipotesis. Bahwa catatan rindu bukanlah untuk menyampaikan hasrat bukan pula untuk menyatakan aroma. Hanyalah dia yang mampu mengutus sekaligus memutus untuk disimpan kembali, untuk dibungkus lagi dan mengedarkannya sebatas ruang pandang).
(Pada sebuah halaman, tanaman hias yang diperbincangkan adalah mengupas judul keindahan, padahal nilai pandangnya hanyalah barisan dengan catatan : hanya itu saja auramu. Dan bincang angan yang terungkap adalah melepas kerinduan pada sebuah nama).
****

Semakin Jelas

Semakin jelas dan menampakkan kehampaan cara dan sikap. Dan dia telah menjadi catatan pinggir, pinggir comberan yang menghitam, kehilangan hakekat dan makna. Cara pandangnya hanyalah pusaran yang tak mampu mengoyak dedaunan, kecuali membuat deru. Cara pandangnya adalah memonopoli argumen tetapi dia tak pernah mampu memblokir kesiapan uji tanding. Dia tak mampu menjembatani logika kebersamaan dengan dukungan kesetaraan. Dia hanya mampu mendribel dan merasa menjadi pemain dominan. Adalah dia yang selalu mampu menghidupkan teori konspirasi bermental kekanak-kanakan dan menyiraminya dengan cairan berlabel : bahan tanpa etika.

Dengan sekutunya dia hanya mampu berceloteh karena perjumpaan di lingkaran, telah memberikan angka minus untuk seluruh keranjang yang disemayamkan di sisi diri. Dia hanya bisa bermain di episentrumnya dan tak mampu menggetarkan lingkungannya dengan getaran skala richter sekalipun, karena dia adalah pusat organ yang tak mampu menyelesaikan renang lintas pertarungan. Dia telah tercerabut dari akar dirinya sendiri. Dia telah menghunjamkan sebongkah noktah yang menjadikan dia seperti pelari yang tak mewakili siapapun. Tidak jua dengan dirinya. Semakin jelas sudah.
****

Monday, November 19, 2007

Sepanjang Koridor

Pantai Selatan

Ya, sebuah ruang pandang siang terik yang memberikan kesan kedigdayaan dalam sepi, keteguhan dalam sunyi dan ketegaran dalam rutinitas. Betapa, deburan dan buih bergulung menjadi rutinitas tanpa ada yang membayar apalagi memerintahkan. Betapa kedigdayaan menjadi daya dorong untuk mengungguli rentang kendali pikir dan tanpa harus merasa lelah. Maka sinar pandang ketika berhenti sesaat untuk menyaksikan adalah memadukan analogi yang bermain di ruang diri untuk menggariskan sekali lagi tentang rutinitas dan merapikan peran.

Peran gelombang yang selalu setia menghampiri
Peran gelombang yang selalu setia menyapa
Peran gelombang yang selalu bercerita
Peran gelombang yang selalu menyatakan

Bahwa aku adalah kisah perjalanan itu
Bahwa aku adalah testimoni itu
Bahwa aku adalah kesetiaan itu
Bahwa aku adalah perjalanan itu
Bahwa aku adalah kesunyian itu
Bahwa aku adalah keteguhan itu
Bahwa aku adalah perjumpaan itu
Bahwa aku adalah glagah itu
(Ahad siang terik menyapu sekujur diri)
*****
Ketika Datang

Kehadiran bukanlah sekedar menghadirkan namun boleh jadi sebuah persetujuan ketika undangan menyatakan pergelaran yang dirancang apik. Maka bergegaslah menyongsong pagi Ahad dengan berbenah, merapikan jua sebagaimana biasa dan berangkatlah menuju ke ruang kehadiran yang dituju. Maka sambutan pun penuh senyum ketika warna perjalanan mencapai titik temu, dan sekali lagi kehadiran bukanlah sekedar menghadirkan namun lebih dari itu.

Kehadiran adalah jawaban tentang kebersamaan membagi, kehadiran adalah menyatakan silaturahmi pada senyum, kehadiran adalah menegaskan argumen tentang kedekatan. Dan itulah yang tercatat dalam buku hati dan menjadi kesempurnaan ketika hari menjadi catatan yang menegaskan tentang perayaan untuk sebuah mahligai. Dan ucapan yang mengalir adalah menjelaskan seluruh isi senyum yang telah dikumandangkan. Dan ungkapan yang melantun adalah menceritakan seluruh nilai perjalanan tiga jam menuju titik tujuan. Kesimpulannya adalah membagi warna baju untuk menyatakan kebahagiaan dalam kebersamaan dan menyanyikan rangkuman perjalanan dengan syair keindahan memandang aura.
*****

Menjaja Niat

Kebersamaan menjajakan niat
Memastikan catatan untuk hakekat
Dan meragikannya pada sejumlah filsafat
Untuk kesaksian perisai lidah bersilat

Yang terjadi adalah keikutsertaan pada diam
Yang terjadi adalah pilihan pada ruang memendam
Dan dia tak mampu bercerita gurindam
Dan dia tak mampu bersilat dendam
Dan dia tak mampu mengembalikan denda dam
Dan dia tak lagi menjajakan ego terpendam

Ongkos tentang argumen adalah merekatkan kendali
Ongkos tentang argumen adalah memastikan nilai
Ongkos tentang argumen adalah perjuangan diri
Ongkos tentang argumen adalah catatan buku nadi

Dia adalah ego yang terbengkalai
Dia adalah jatidiri yang tergadai
Dia adalah ketidakmampuan menggali
Dia adalah cerita yang tak pernah selesai
****

Tergantung

Ketidakmampuan dalam menganyam, ketidakmampuan dalam merajut adalah benang yang semakin menampakkan warna bahwa dia adalah ketidakmampuan itu. Ketidakmampuan untuk memberikan solusi dan layout memberikan keyakinan bahwa jalan cerita menjadi baku pada definisi ini : tergantung siapa yang banyak omong, banyak kamuflase dan banyak kalimat.

Jadi lucu kalau dilihat dalam konteks rutinitas, tak ada pola, cenderung abstrak dan moderat padahal diperlukan gebrakan percepatan dan keberanian. Ya itu keberanian untuk menyatakan tidak walaupun tidak populer tetapi karena menyangkut keputusan sah-sah saja untuk mengggiring gembala pada makanan rumput yang pas di lapangan.

Ini yang tidak ada, maka jadi seperti gerilya tanpa komando, masing-masing bermain dengan peran seadanya, yang pakai fasilitas deodoran semakin wangi saja tanpa merasa malu untuk memamerkannya. Lantas dimana kendali internalnya, jawabannya ada di pasir pantai, ditulis kemudian terhapus, ditulis lagi terhapus lagi dan begitu seterusnya karena tidak ada tiang pancang yang mampu mengobarkan semangat untuk berbenah dan berlari. Yang ada adalah mengisi matahari dengan lukisan tanpa gambar.
*****
Tidaklah Penting

Tidaklah penting apakah ini celah atau titik cahaya, tapi setidaknya adalah sudut yang diupayakan sebagai titik awal perubahan. Dan jendela yang kubuka dengan dua kunci celah itu moga-moga dapat menjadi titik pemberangkatan yang akan membawa pada kesempatan untuk memperbaharui, mengidentifikasi ukur diri dan valuenya.

Masih banyak anak tangga yang harus dilewati untuk bisa sampai pada ruang tunggu menyamakan argumen. Dan sebuah harapan tentu harus selalu dikumandangkan sembari tetap mempersiapkan diri untuk maju dan membawa diri pada tataran yang beda dengan rutinitas. Cerita tidaklah harus selalu di langkah yang sama, berjalan bersama, menyelesaikan bersama seperti sebuah layout.

Bukankah masih banyak unjuk performansi yang bisa disejajarkan dengan aktualisasi. Tidak harus disini, di beberapa titik masih ada cahaya binar yang mampu membawa penjelasan tanpa harus menukar kelambu. Masih ada ruang yang membawa argumen pada kesiapan menghadapi segala cuaca, mendung sekalipun. Masih banyak kehangatan yang mampu mengasah diri, masih banyak perjumpaan yang mampu membenahi kacamata plus, masih banyak senyum yang tak harus dipagari jarak. Masih banyak dan tidak disini.
*****
Bahwa Aku

Duhai kekasih
Apakah matahari ingin selalu sejajar denganku
Apakah pohon kaktus tidak mampu mencubitku
Apakah kebersamaan adalah langkah genggam hayatku

Duhai bunga
Isian baki adalah menuangkan hasrat pada sebutir nilai
Isian hati adalah menjelaskan ruang pada cahaya nada
Isian hari adalah menafsirkan rembulan di puncak kelud

Duhai kekasih
Duhai bunga
Ceritakan pada seisi taman
Ceritakan pada seisi kebun
Ceritakan pada seisi ruang

Bahwa aku adalah matahari jam sepuluh
Bahwa aku adalah rembulan menjelang purnama
Bahwa aku adalah detak dengan detik melangkah
Bahwa aku adalah cerita yang belum selesai
*****
Karena Aku

Sepanjang jalan itu dan sesudahnya, beberapa saat dan beberapa hari kemudian, penjelajahan dari sekian link yang belum diolesi adalah kembali memastikan bahwa bawaan yang dikemas adalah bagian dari serpihan yang disatukan dengan ikatan, di gelang lembah yang menyamakan nilai. Bahwa mereka adalah kemuliaan dan kejayaan itu dan jelajah napaktilas memberikan bukti akan keemasan yang digenggam dua generasi sebelumku.

Betapa sepenting itu tak jua menyatakan sisa, dan cerita yang dijelaskan adalah menelusuri ruang dokumentasi yang mampu menjadi persaksian gerusan jaman. Adalah itu yang ingin ditegaskan termasuk ketika menatap wajah kekuatan semangat, wajah kedekatan derma dan wajah kearifan peran. Mereka memiliki segalanya termasuk sikap dan harkat, tentang kejayaan, tentang kedermaan, tentang keterkenalan, tentang kekayaan dan situs yang dijelajahi sepanjang hari itu adalah mereka ulang rekam jejak yang ditinggalkan.

Dan aku perlu mendapatkannya
Dan aku perlu memastikannya
Dan aku perlu menghargainya
Dan aku perlu menggenggamnya
Karena aku adalah garis lurus itu
Karena aku adalah pewaris itu
Karena aku adalah penerus lanjutan
Karena aku adalah persepsi itu
(Catatan sisa perjalanan)
*****

Tuesday, November 13, 2007

Catatan Ruang

Cum Laude

Sebuah rantai prosesi, semua mempersiapkan dengan segala unjuk penampilan yang ada, untuk menyemarakkan, untuk menyetarakan, untuk menseremonikan, untuk menyaksikan dan menyambut pesan dengan sebutan: telah selesai, telah purna. Dan mata rantai waktu yang diperlukan untuk itu meraup tiga setengah jam pada sebuah Senin episode kedua, undangan biru, sebuah cerita seremoni yang menyenangkan, membanggakan sekaligus melelahkan.

Namun testimoni yang menjadi ukuran nilainya adalah keikutsertaan seluruh orang rumah menyaksikan dan menyambut titik purna yang sudah diakhiri dengan dukungan yang diberikan selama ini. Dan ucapan selamat, jabat tangan erat adalah souvenir yang menghiasi bagian inti ruang hati, ruang mata dan ruang binar yang berbunga, bahwa pada akhirnya usailah sebuah tahapan, selesailah sudah sebuah paket modul yang dikemas mengisi waktu akhir pekan selama satu setengah tahun berselang.

Dan bagian yang menjadi perlambang adalah kiasan pada sebait kata untuk disaksikan dan semoga menjadi daya pikat untuk kedua buah hati yang ikut serta bahwa nilai yang dikedepankan adalah melantunkan sebutan cum laude untuk persepsi dan perspektif pada kekuatan semangat untuk menggapainya. Bukankah itu adalah definisi yang akan memacu sekaligus bercermin pada hakekat mencapai dan menggapai, sesuatu yang mampu diraih dengan kekuatan semangat diri dan keyakinan full orientasi. Bukankah begitu ananda ?

*****
Genggam Kalimat

Kebersamaan untuk menyongsong akhir cerita, kebersamaan untuk menuju ruang masing-masing seperti sediakala ketika kita dipertemukan oleh alur akademik yang menyapa kebersamaan. Dan kebersamaan itu Ahad malam ini diseremonikan sebagai bagian dari ritual dan prosesi yang telah menjadi adat istiadat dan tradisi. Dan malam ini diperdengarkan kembali sepatah dua kata, kesan pesan, rangkaian ucap dan genggaman kalimat sebagai titik akhir jalan cerita. Tentu dengan sejumlah nilai yang dibungkus dan dirapikan melalui secarik kertas tebal formal yang sudah disepakati bahwa satu akhir cerita harus diselesaikan dengan catatan sebutan dalam secarik kertas itu, cum laude.

Dan aku menerimanya dengan sukacita, dan aku menjalaninya dengan ruang nada yang hangat, dan aku menjabatnya dengan senyum rasa anugerah sembari meyakinkan diri bahwa ini adalah sebuah catatan yang diseremonikan dan tentu pula membaginya dengan senyum di sulung yang begitu apresiatif atau si ragil yang senang mendokumentasikannya, atau my wife yang begitu tekun menyaksikannya. Ya ini adalah bagian dari penyelesaian itu, dan ruang yang megah dengan tata acara yang teratur dan penuh keakraban adalah sisi yang menjelaskan cerita sepanjang ruang, sepanjang rasa, sepanjang alur untuk dijelaskan dengan binar mata dan binar hati.

Terimakasih pada jalan cerita
Terimakasih pada sebuah seremoni penutup
Terimakasih pada ruang spirit yang menghangatkan
Terimakasih pada my wife (khumairoh, si merah delima), si sulung dan si ragil yang selalu membanggakan
Terimakasih pada rangkaian yang telah dipergelarkan
Terimakasih for all
*****
Selimut Aqidah

Memahami lantunan kalimat yang disiarkan oleh seorang ustad berkaliber rasanya mampu mengosongkan ruang cerita yang lain, kegiatan yang lain, dan kunikmati rangkaian bahasa dakwah yang ringan, sesekali menggigit dan gaya khas yogya yang dimilikinya. Ustad Wij yang selalu tampil apa adanya, to the point dan banyak mengasah ruang hati yang kadang butek dan memandang pada versi persepsi subyektifitas yang lebih sering kelirunya. Maka ruang lantai satu yang juga berfungsi sebagai masjid itu menjadi ramai rasanya, semarak aromanya dan mampu mengajak audiens untuk betah berlama-lama, tak terasa hampir 2 jam hanya untuk sesi itu.

Alhamdulillah, ada nilai tebalnya, ada nilai halamannya, ada nilai silaturrahminya, ada nilai bait kalimatnya, setidaknya mengajak komponen diri untuk menyapu sekujur diri menyatakan koridor yang menjadi jalan ihdinas sirotol mustaqimnya. Bahwa pembinaan itu perlu, seperti suasana ini, mengingatkan, mempertebal dan meyaksikannya sebagai sebuah genggaman diri. Dan pelukan aqidah untuk diselimuti terus, untuk dipakaikan terus, untuk dinyatakan terus, sampai menjadi bagian dari bungkusan bekal yang membawa hakekat diri.
*****
Nyanyian Kebersamaan

Incognito yang diperdengarkan adalah mencuci pandang rasa dan pandang ruang untuk disematkan pada kisah yang diresumekan malam ini, Jumat malam yang berlapis hujan. Banyak hal yang tercakup ketika obrolan informal, mendekatkan jarak yang mengisi cerita selama ini. Ya di ruang yang dipersiapkan untuk dinner kebersamaan ini bercerita tentang coverage selama bersentuhan modul adalah menggelar kembali bagian-bagian yang mesti dan layak untuk disampaikan ulang, setidaknya sebagai bagian dari kedekatan antara pengajar dan yang diajar untuk nilai silaturrahmi yang dikemas rancak.

Bahwa ada souvenir tentulah itu bagian dari kesepakatan untuk sebuah tanda mata dan sebagai ikatan kedekatan yang telah dibangun selama ini. Maka nyanyian kebersamaan adalah penyejuk yang mampu mengedepankan kedekatan tanpa jarak. Maka sambutan yang diperdengarkan adalah souvenir yang berbungkus kisah untuk disambung terus. Dan itu semua memberikan cakupan bingkai bahwa selesai dalam suatu hal bukanlah sketsa perpisahan yang dicantumkan melainkan sekedar melakukan closing pada sebuah program.

Malam lepas dan basah adalah sambutan yang digelar agar kita tidak menjadi kering dalam persahabatan dan pergantian peran. Semua yang dilakukan adalah menyepakati peran dan lakon, untuk kemudian dijadikan perekat interaksi antar personal. Lapisannya adalah membagi kebersamaan dan memperluas cakrawala nilai diri.
*****

Wednesday, November 07, 2007

Titik Persimpangan Ini

Jalan tidaklah tanpa simpang terus menerus, ada walau sesaat sebuah simpang, apakah simpang tiga atau simpang empat memberikan sinyal sudah sejauh mana rangkaian cerita diri yang diperoleh. Dan satu simpang sudah kulalui dengan ketekunan dan keyakinan bahwa aku dapat mencapainya, maka sebuah tiang menyapaku di sudut itu sembari membentang spanduk : what next for you.
Tentu saja aku tetap meneruskan langkah, dan sebuah simpang tadi adalah bukti pencapaian yang kudapat setelah satu setengah tahun menjalaninya, menggelutinya dan menitinya dengan semangat potensi diri yang kupunya. Dan awal minggu depan purnalah melalui sebuah seremoni yang tentu saja menjadi tradisi untuk dilalui. Setidaknya ada tiga langkah "perpisahan" yang akan kulewati, akhir pekan ini menghiasnya dengan dinner together, dan awal minggu depan formalitas yang menjadi penanda akhir persimpangan itu akan kujalani jua.
Dan jalanku tetap kutempuh untuk mencapai persimpangan lain yang memberikan sinar pencerahan dan pengayaan autentik bagi nilai manfaat dan referensi. Selayaknya untuk persimpangan yang satu ini ada selebrasi dan seremoni yang dipergelarkan. Selayaknyalah.
*****

Tuesday, November 06, 2007

Rindu yang dituntaskan

Rindu yang dikupaskan
Rindu yang dipuaskan
Rindu yang dituntaskan
Rindu yang dihabiskan

Adalah cerita yang mampu menjulangkan angan dan sekaligus menuangkannya pada sejumlah kata, kalimat dan paragraf. Ketika menjumpaimu pada sebuah hari, yang berkelok, yang menikung, yang menanjak, yang memanggil, yang menyapa. Dan jabat erat tanganmu adalah sambutan pada dinginnya larut malam dan pelukanmu adalah cerita berbait yang kukunyah, kuresapi dan kuhayati selayaknya mematut-matut diri pada kaca tanpa berkata. Dan engkau adalah catatan yang memberikan nilai kepuasan manakala seharian menelusuri lekuk dirimu, pinggang lereng gunung yang mengitarimu.
Dirimu adalah ceritaku, yang ingin kucerminkan sampai di mana keyakinanku pada apa yang disebut silsilah untuk menyimak, silsilah untuk mengadopsi dan menularkannya pada lanjutan langkah yang kudapatkan sampai sejauh ini. Dirimu adalah bagian dari perjumpaan yang tak sering. Itu sebabnya perjalanan ini adalah membenam rasa rindu yang menggelembung dan memastikan sebuah sapaan pada lambaian yang selalu seperti itu sejak dulu. Ya sejak dulu dan selalu begitu.
****

Saturday, November 03, 2007

Catatan Perjalanan

Tirta Hati

Gunung kebanggaan itu kutatap lama sekali sembari ingin segera memeluknya didinginnya pagi. Sesekali kuambil dan kurekam jejak tingkahnya dan orang-orang disekitarnya yang masih tetap saja seperti dahulu, tradisionil dan menjaga eksitensi istiadat yang kurindu itu. Hari ini kunikmati pandang hati itu dengan tirta hati dan sembari duduk di teras sebuah toko, kusimak tingkah polah itu dan memberikan apresiasi pada keseharian yang menjadi catatan kesibukan itu.

Kota kecil ini adalah pusat sebuah marga, pusat pertemuan dua religi besar, pusat pertemuan kehangatan adat dan agama yang harmoni. Dan semuanya sudah berlangsung turun temurun, berlangsung apa adanya dan begitulah adanya. Penjagaan terhadap tradisi yang menjadi catatan tanpa koma itu adalah kesaksian yang memberikan nilai kekerabatan yang begitu akbar senilai dengan kebesaran gunung yang mengawalnya dibelakang kota. Sebuah testimoni yang ingin kujadikan sebagai pelangkap paragraf cerita diri.
****
Bingkai itu

Bukankah mereka adalah bingkai kebanggaan itu
Sembari mendoakan kelapangan perjalanan panjangnya
Bahwa itulah silsilah yang menerbitkan kekaguman
Bawa itulah tarombo yang menyenandungkan kebanggaan

Ya, sampai disini aku harus mengangguk
Ya, sampai disini aku harus mengamini
Ya, sampai disini aku harus mengakui
Bahwa mereka adalah catatan yang bernilai emas
Bahwa mereka adalah catatan yang bernilai intan

Maka kunjungan yang kuhampiri adalah membaca temanya
Maka kunjungan yang kusentuh adalah mencatat lukisannya
Maka kunjungan yang kusapa adalah menyatakan garis tebalnya
Dan membawanya pada catatan hati :
Aku telah datang membawa sekuntum hati
****

Tujuan itu

Telusur ulang untuk menceritakan
Dan mengambilnya sebagai penyeimbang catatan
Dan menyentuhnya sebagai penyangga identitas
Dan menyapanya sebagai pesinden matahati

Seperti biasa
Engkau adalah subyektivitas yang tak pernah berubah
Engkau adalah naluri yang melirik jalan-jalan pagiku
Engkau adalah cerita yang tak mampu diselesaikan sehari
Engkau adalah saksi yang menjelaskan hitam putihnya gambar

Seperti pagi ini
Jalan-jalan yang menuju pancuran air tidak pernah berubah
Jalan-jalan yang menuju titik akhir sama saja jalinannya
Jalan-jalan seputar halaman adalah irama yang tak berganti
Jalan-jalan menuju cerita tidak ada yang berkelir lain
****

Lintas, Lantas

Membuka hari dengan catatan penuh bahwa seharian ada di lintasan menuju sebuah perjumpaan identitas historis. Bahwa kemudian seharian jua ada di catatan yang membukukan ruang kelapangan agregat, adalah itu yang memberikan suntikan mengapa aku harus ada di sebuah arung yang bernama lintasan menepikan semua agenda. Karena kumpulan cerita yang hendak dimuntahkan adalah bagian dari aneka telusur untuk meyakinkan sebuah alinea yang menyatakan bahwa hati adalah bagian ari gregat yang hendak dijelajah ulang.

Lantas cerita semalam suntuk adalah penabuh yang memang hendak kudengarkan, sembari menahan penat setelah seharian memegang kemudi melintas batas dua provinsi yang menyapu ruang jalan. Kampung halaman adalah bungkusan yang meyambut dengan dinginnya malam menjelang puncak. Dan seruput secangkir kopi yang disuguhkan memberikan adrenalin tambahan untuk mendengar rajutan cerita yang disetarakan dengan mengambil makna untuk agenda yang menampilkan judul : Menjelajah Jahitan Diri.

Betapa kemudian kurasakan urang pandang yang menerawang melewati batas yang ada dalam bentang diri sejauh yang didapatkan. Bahwa ada yang menjadi kebanggaan ketika jahitan itu adalah manifestasi dari episentrum yang menyajikan halaman-halaman kekuatan nilai kekerabatan dan menyentuhknya dengan lagu cerita yang hidup di sisi telinga. Betapa aku merasakan bahwa kebanggaan adalah sebuah urutan yang mesti menjadi nomor utama dan dibingkaikan dengan sulaman yang menampilkan sosok diri untuk dikemaskan dalam kalimat tak bertanya : Oh jadi begitu jalan ceritanya ?.

Dan lintas tengah yang dijelajah dengan rute panjang Pbr-Bkn-Pspngr-Sbh, GnT, Spr sampai di sudut lembah yang ”begitu terus sepanjang penglihatan” adalah sajian yang memberikan nilai inspirasi baru bahwa jelajah adalah mengapai sebuah gengaman yang kembali dirajut, dijahit dengan benang simpul dan berupaya untuk membungkusnya dengan kalimat : Betapa kehormatan adalah seremoni yang terus dipergelarkan dan menjadi bukti kehormatan keluarga besar. Duhai betapa aku ingin menjadikannya sebuah buku cerita.

****
Ketika Harus Terlantar

Ketika harus terlantar di sebuah bandara nomor wahid di negeri ini, ketika harus menggapai informasi untuk mengapa dan mengapa, ketika sentuhan pelayanan dan kumuhnya sebuah airport ibukota menjadi titik singgung yang dikunyah. Maka apalagi yang bisa menjadikan nilai bangga pada definisi pelayanan selain etika kesemrawutan yang dikedepankan. Dan jarak pandang yang terakumulasi adalah betapa buruknya kalimat yang harus dibawa sebagai kesan ketika menyaksikan bunda harus bersila di lantai untuk menunggu lanjutan yang harus ditempuh sekali jalan. Bukankah keterlambatan ini karena jangkauan yang tidak mampu digenggam sepenuhnya manakala sebuah keberangkatan harus delay terlalu lama. Dan dampaknya tidak pernah dijelaskan selain meyampaikan permohonan maaf. Dan sesungguhnya pencitraan itu dibangun oleh mekanisme sistem yang mestinya dinyatakan sebagai penyangga utama untuk nilai pelayanan. Tetapi begitulah, sampai akhirnya harus berganti maskapai tetap saja ada rasa yang belum pas untuk dituntaskan. Bahwa kita memang masih amatiran.

****