Sunday, November 22, 2009

Tidak Ingin

Apakah surya akan memberikan ruang hangat bagi satu pernyataan yang dihasratkan untuk dirangsang dengan kepastian, itulah space yang menggantung manakala batas yang diharapkan seakan sudah ada di sebuah surat keputusan. Surat keputusan bukanlah suratan keputusasaan yang dijahit dengan ketidakinginan untuk melanjutkan, tetapi tidak lain untuk memerdekakan harkat dan mengunjungi panorama lain untuk melukis yang bisa dicatatkan.

Menyisir hari adalah meyakinkan sebuah catatan manakala perjalanan sepanjang malam mengakhirkan jua untuk sebuah tujuan, tidak lagi menghampiri ruang keberangkatan yang sudah diseberangkan dengan doa dan keyakinan. Tidak lagi me rewind putaran itu karena ingin menggapai selat yang di ujungnya ada penciptaan harapan. Begitu pun tetaplah dijalankan dengan ruang pandang jernih sembari membersihkan jendela hati yang berembun sejak pagi yang mengisyaratkan ada perbedaan suhu untuk menyikapi sebuah sinar surya yang akan memberikan ruang hangat bagi sebuah diri.

Wednesday, November 11, 2009

Apakah Kita Tidak Menyadari

Apakah kita tidak menyadari rangkaian testimoni dan pengakuan dua minggu ini adalah sebuah pertanda, sebuah alamat yang ingin mengajak kita untuk berbuka, membuka dan dibuka bersama. Apakah kita tidak menyadari isak tangis yang dipertontonkan itu adalah bagian dari skenario Tuhan untuk membuka kebusukan, kehinaan dan yang sederajat dengannya manakala kita sudah tertutup awan kemunafikan berselimut rupiah haram. Apakah kita tidak menyadari rangkaian sumpah dengan menyebut nama Tuhan dan disiarkan langsung itu akan memberikan gaung yang mengaum melintas generasi penyampai sumpah jika hanya gelas tanpa isi.

Lalu mengapa Tuhan tidak menampakkan diriNya atau jangan-jangan malah ikut menonton siaran langsung itu. Atau -meminjam istilah Massardi yang baca puisi di bundaran HI- jangan cepat-cepat mengadu pada Tuhan karena ini negeri para bedebah. Ada dua ruang jawab berbisik di kamar hati nurani ketika menyapa dinihari, adalah karena ini bukan tanah suci, bisa jadi tidak langsung dibayar tunai olehNya. Adalah ini ujian nasional yang seluruh soalnya tidak ada di BAP, tidak ada di testimoni, tapi di suara hati yang ingin mengajak ummat berlaku kembali pada khittah fitrah, bukan merayakan fitrah seperti pada idul fitri.

Lalu mengapa kita tidak menyadari juga manakala negeri ini selalu digoyang gempa seperti makan obat, tiga kali sehari, sampai ada yang menyatakan negeri ini adalah supermarket disaster. MasyaAllah, mengapa kita tidak menyadari jua atau kita menganggap itu bagian dari sinetron breaking news yang mampir di stasiun televisi seluruh dunia. Lantas dengan cara apalagi sekolah keimanan ini disusupkan pada sebongkah hati yang merah darah jika kemudian sertifikat yang dihasilkan berkali-kali hanya dilipat di laci tanpa perlu mendiskusikannya dengan nurani.

Ketika para teroris dihabisi dengan menyebut nama Tuhan, lalu mengapa korupsi, kolusi tidak dihabisi dengan menyebut nama Tuhan, tetapi malah diperdebatkan juga dengan nama Tuhan, membawa nama Tuhan, ada yang pakai Lillahitaala, ada yang pakai Demi Allah. Sebegitu hebatkan kita sampai menjual nama Tuhan padahal baju yang kita pakai adalah kemunafikan dan kefasikan. Sebegitu maha kah kita berani-beraninya menjual nama Tuhan untuk sebuah jabatan yang mati-matian dipelihara.

Wahai Allah, maafkanlah kami yang banyak dusta
Wahai Allah, ampunilah kami yang munafik ini
Wahai Allah, goreskanlah nur hidayahMu di pembuluh nadi kami
(Kami meyakini karena Rahman dan RahimMU mengalahkan AmarahMU, sehingga kami masih bisa terhindar dari azab dan malapetakaMU)
****

Sunday, November 08, 2009

Bukankah?

Titip salam dengan seikat kembang sembari memandangi punggung gunung Ungaran sebelah barat laut, dan melemparnya pada air yang mengalir deras berbuih lalu menyampaikannya pada laut Jawa sembari bertanya: Dimanakah muara itu wahai pantaiMu yang indah?

Lalu Engkau bisikkan pada hati yang pulas dinihari : Bukankah muara itu adalah batas dimana dirimu harus memastikan dan membedakan rasa air laut dan danau bening, karena kegelisahan itu adalah asa yang harus dicelup dengan air putih untuk bisa menjelaskan pada langit biru bahwa di muara itu sudah ada kepastian.