Monday, December 29, 2008

Sampai di Titik Simpang

Engkau datang ketika kulminasi mencapai titik sentuh, dan matahari enggan untuk menceritakan kehangatan. Dan kabar yang kau perlihatkan pada puluhan alinea seakan ingin menceritakan tidak usahlah bergumul pada satu simpul sedangkan simpul yang lain adalah cerita tentang keluasan pandangan, bukan hanya pada satu sudut yang sering membuat merah hati, merah nadi.

Dan ketibaanmu kusambut dengan kipas hati, hening ucap untuk memberikan jalan pada nafas diri yang sedang menjelajah angan. Kuceritakan jua pada pendamping hati, pada sosok yang selalu menjadi pakaian diri, pada seorang yang senantiasa tabah dan sabar mengisi hari rutin sepanjang asa, sepanjang cerita tentang asa.

Itulah pilihan ketika engkau datang mengabarkan asa yang lain ketika satu asa menjadi hitam tanpa bacaan, tanpa huruf dan tanpa warna. Bukankah pilihan itu jua yang akan memberikan ruang untuk menghirup udara segar hijau manakala ada otorisasi yang memberi bukaan portal untuk berjalan tak kembali. Bukankah itu pilihan yang akan mencari tahu sejauh mana pencapaian diri dapat memaksimalkan potensi untuk dikembangkan tanpa harus melihat kebelakang lagi. Tidak lagi karena sudah ada ruang luas yang bercerita berbaris-baris.

Kusambut engkau wahai titik kulminasi
Kusambut engkau wahai titik simpang
Kusambut engkau wahai titik finish
Kusambut engkau wahai titik koma
Untuk menuju titik selesai di satu halte
Dan memberi ruang pada tanda koma
Untuk sebuah kesempatan lain
Aku telah sampai di titik simpang
***

Sunday, December 21, 2008

Ketika Engkau Masih Bertanya

Jawabanku sederhana engkau adalah kezaliman itu. Lucunya engkau tanya lagi dengan mengundang khalayak untuk mencari aura wangi, padahal engkau adalah bunga layu itu. Kalau di depan wajah berganti rupa, berjabat tangan sepertinya easy going, sepertinya pemangku ramah hati dan ramah wajah. Padahal engkau adalah The Bad Father yang tak mampu menggali, yang tak mampu memilah, yang tak mampu menampung, yang tak mampu menyelesaikan.

Engkau adalah urat nadi yang tak mampu memerahkan arteri. Yang biasa engkau lakukan adalah menghindari dinamika konflik, bukan menyelesaikan konflik apalagi memberikan solusi. Engkau adalah keberpihakan karena engkau hanya mengutamakan sektor teknis dan mengabaikan peran kebersamaan yang menjadi motor kinerja. Engkau adalah nyali yang tidak bisa menyampaikan lewat bunyi langsung tetapi hanya berani untuk beradu dialog untuk inner cyrcle saja. Engkau adalah nyali yang tak mampu menghijaukan mata pandang, apalagi mata hati karena engkau tak memiliki ruh untuk menghembuskan damai dan sentosa

Maka
Kukatakan saja
Engkau adalah kezaliman itu
Yang telah memporakporandakan logika menjadi sampah
Yang telah menenggelamkan asa menjadi putus asa
Yang telah menghitamkan matahari menjadi segumpal noktah
Tanpa sinar
Tanpa cahaya

Karena cahayanya telah engkau tepikan dengan kezalimanmu
Robbi nazzini minal qoumi zholimiin

Tuesday, December 02, 2008

Ikhlas Kecil

Sebagai karyawan cilik sejatinya aku sangat prihatin dengan kondisi perusahaan dimana aku bekerja. Sepanjang sejarah usahanya perusahaanku ini selalu tumbuh dengan baik dan menghasilkan profit margin yang cemerlang, sekaligus mampu memberikan nilai kesejahteraan bagi semua strata karyawannya. Namun untuk tahun ajaran marketing tahun ini, sinar cemerlang itu tidak lagi sejernih sinar mentari tahun-tahun sebelumnya. Ada mendung yang menggantung dan cuaca pun mulai tidak bersahabat. Grafik pertumbuhan pendapatan tidak lagi bernilai senyum. Memang masih ada senyum, tapi senyum yang bernuansa keterpaksaan sembari menahan suasana rasa yang tidak karuan. Begitupun sebagai karyawan kecil aku harus bisa memberikan kontribusi sekecil apapun. Dan yang kulakukan adalah memberikan komunikasi pada warga di sekitarku, apakah melalui komunikasi guyon, informal atau dalam pertemuan formal antarwarga.

Setidaknya sudah ada 32 tetangga dan saudara yang kuinformasikan untuk tetap mempertahankan pstnnya dan memberikan apresiasi pada kelebihan yang dimiliki flexi. Secara kuantitas masih sedikit memang dan bahasa yang kusampaikan juga tidaklah muluk-muluk amat. Sekedar memberikan argumen semangat agar tetap mempertahankan pstn karena produk jenis ini adalah produk yang mampu memberikan kekuatan akan kualitas suara, akses speedy, anti jamming dan kelak menjadi saluran IPTV yang dapat dimanfaatkan setiap rumah tangga. Flexi juga memberikan kekuatan pada nilai pengorbanan uang yang demikian kecil dengan kemampuan teknologi cdma yang jernih dan bening. Itu yang bisa kulakukan dan walaupun secara kuantitas tidak banyak berpengaruh pada marketing perusahaanku, tapi setidaknya aku ingin bermarketing dengan cara yang ikhlas, tanpa pamrih, tidak perlu dilaporkan pada manajemen dan bagian dari kecintaanku pada perusahaan yang telah membesarkanku.

Ya, perusahaan ini telah membesarkanku
Ya, perusahaan ini telah mengajarkanku
Ya, perusahaan ini telah mengantarkanku
Semoga ikhlas kecil ini bisa menjadi sebutir doa untuk dipanjatkan
Pada kekuasaanNya yang menggenggam masa depan
Semoga perusahaanku bisa kembali mengolah going concernnya dengan cerdas
Dan menjalani hari hari sulit dengan kebersamaan dan semangat tanding
Semoga Allah meridhoinya, amien

Tuesday, November 25, 2008

Nur Imaji

Melukis tentang kamu adalah kegairahan tanpa awal yang (inginnya) mengalir seperti bening embun di lembah Merbabu. Sebab keniscayaan yang terpampang adalah keinginan untuk menjanjikan pita merah jambu pada sebuah gaun malam yang disemayamkan, pada raut wajah yang absurd, ketidaknyataan yang diaduk dengan ketidakpastian pada adonan tema yang dikumadangkan di bibir hati.

Yang kutahu adalah tentang keanggunan, tentang kearifan yang dibungkus dengan selendang keindahan berkerudung hijau muda, segar, seperti dedaunan pohon bukit asri yang meminta cahaya matahari pagi. Juga tentang kesederhanaan dan keberpihakan pada definisi obyektif tentang persepsi yang dikalimatkan dengan santunnya sejumlah kata yang dilayarkan di kaca monitor. Hanya itu, selain itu adalah silhoute yang tak ingin kunyatakan dengan sketsa karena bisa saja tidak sebanding dengan aroma yang kau sebarkan.

Maka engkau bisa ( sangat ) nikmati hari-harimu dengan khusyuk
Maka engkau bisa ( jadi ) menerbitkan kalimat replay untuk menyegarkan suasana
maka engkau bisa ( wajib) menerjunkan argumenmu yang cerdas nilai

Dan
Nikmati hari-hari cerdasmu dengan keyakinan
Nikmati harimu dengan bintang
Nikmati perjalananmu dengan hati-hati
Nikmati suasana ruangmu dengan hati

Semoga kelak menjadi bintang
Semoga kelak menjadi aura
Semoga kelak menjadi cahaya
Semoga kelak menjadi nur yang menghangatkan
Semoga

Ketika Tuhan memperlihatkan Kepemimpinan Yang Bijaksana

Barrack Hussein Obama terpilih secara mutlak menjadi presiden AS awal bulan Nopember ini, dan seluruh dunia menyambut dengan sukacita, bahkan Iran sebagai musuh nomor satu AS melalui presiden Ahmadinejad pagi-pagi sekali sudah mengucapkan selamat kepada Obama. Mengapa mayoritas penghuni permukaan bumi bulat bundar ini begitu heboh, begitu bersemangat mengikuti episode demokrasi paling meriah ini. Jawaban terangnya menjawab tuntutan hati nurani yang standar normanya sama, sama-sama muak dengan gaya kepemimpinan presiden sebelumnya yang arogan, diskriminatif dan cenderung diktator.

Nah, sekarang cobalah sejenak kita pandang wajah beberapa pemimpin negara yang menjadi “piaraan” AS selama ini setelah digantikan lebih dulu. Perdana Menteri Australia Kevin Ruud, atau Perdana Menteri Inggris Brown. Keduanya memiliki raut wajah yang tenang, gaya bahasa yang santun dan lebih sering mendengar daripada mengucapkan bahasa diplomasi bergaya hiperbol. Lihat jua si winner Obama, muda, enerjik, cerah, gigi bersusun putih rapi, menebar senyum penuh semangat, lincah dan bergairah. Lalu, bandingkan dengan Bush atau Howard atau Toni Blair. Dari wajahnya saja sudah mencerminkan citra kepemimpinan yang angkuh, merasa jagoan, bergaya cowboy, mengabaikan yang lain, standar ganda dan menzalimi berjuta orang.

Kalimat menzalimi itu lebih pas disematkan pada Bush yang merasa menjadi polisi dunia. Ironisnya ketika dia bersiap-siap lengser, diperlihatkan dengan nyata dan tragis bagaimana negeri adi daya itu lunglai dihantam krisis finansial yang membuatnya tak berdaya. Krisis terburuk sepanjang abad ini sejatinya adalah perbuatan Amerika sendiri sehingga ketika forum G-20 yang dilaksanakan baru-baru ini hampir semua negara Eropa terutama Perancis ingin “menghukum” Amerika yang membuat negara lain ikut menanggung derita.

Ketika si wajah flamboyan Bill Clinton mengakhiri jabatannya, dia mewariskan negara itu sebagai negara kaya raya, kemakmuran yang berkelimpahan dan masyarakat AS yang digdaya, gemar belanja, tak suka menabung, benar-benar menikmati hidup dengan sempurna. Nah ketika Bush berkuasa selama delapan tahun dengan style militan, beberapa kejadian tragis menimpa negeri itu yang mengakibatkan struktur ekonomi dan kekayaan negeri Paman Sam itu berangsur-angsur bangkrut. Sebut saja penghancuran gedung kembar WTC, perang Irak, perang Afganistan, perang melawan teror, konflik dengan Iran adalah ongkos ekonomi biaya tinggi. Seakan semuanya menjadi deret hitung dan dipungkasi dengan krisis finansial yang luar biasa. Cerita sejarah yang masih segar itu dalam bahasa religi adalah teguran sang Pencipta atas kepemimpinan yang tidak bijaksana.

Persoalan harga minyak misalnya, ketika menyentuh $ US.147 per barel beberapa bulan lalu, berapa milyar ummat manusia yang menjerit merintih sementara segelintir manusia kapitalis tertawa terbahak-bahak meraup keuntungan berlipat-lipat. Harga minyak yang normal menurut kalkulasi OPEC berkisar antara $ US 65-70 dipatahkan dengan senjata psikologis melalui asumsi-asumsi made in rekayasa dengan kondisi Teluk, dengan badai di Teluk Meksiko, dengan serangan teror di Nigeria. Yang ngomong itu kan makelar minyak, dan siapa sih makelar minyak paling akbar di muka bumi ini, semua sudah tahu. Nah sekarang sekali lagi tangan Tuhan ikut bermain di dalamnya dengan mengembalikan posisi harga minyak itu disekitar harga normalnya. Caranya-sekali lagi tentu tidak dengan logika eksakta, caranya tentu tidak dengan asumsi buatan manusia. Tuhan punya cara sendiri dan sangat mudah bagiNya untuk merubah sesuatu yang mustahil menjadi kenyataan.

Tuhan hanya ingin menegaskan : Sesungguhnya Aku tidak menyukai orang-orang yang melampau batas. Maka dengan sentuhan ayat populer Innama amruhu izza arodha syaian ayyakulalahu kun fayakun. Masuk diakalkah ketika hanya dalam hitungan minggu harga minyak jatuh sampai lebih dari setengahnya. Terakhir menyentuh $ US 50. Dan itu adalah jawaban dari doa orang-orang yang dianiaya secara universal di jagat ini. Mudah saja kan, dan logika cara pandang manusia jarang-jarang mengaminkan cara pandang Sang Khalik yang dipertontonkan itu. Meskipun begitu untuk yang satu ini Tuhan masih memaklumi karena rasa sayangnya pada milyaran ummat manusia yang menderita di muka bumi akibat ulah segelintir makhluk rakus berwajah kapitalis.

Masih ingat jua kan ketika badai tsunami menghantam Aceh ketika ribuan orang telah tewas akibat konflik berdarah selama puluhan tahun. Dalam bahasa agama, ini juga sebuah solusi untuk kesempurnaan cara hidup damai di lembaran hari berikutnya. Bayangkan, betapa sulitnya mendamaikan formula di bumi serambi Mekkah itu. Kekerasan dibalas dengan kekerasan sehingga menimbulkan korban yang tidak sedikit. Pernahkan juga diangankan ketika bencana itu usai dengan korban ratusan ribu orang, kedamaian menerbitkan berkah di bumi Aceh. Subhanallah, begitu perkasanya cara Engkau menyelesaikan konflik tanpa harus mengumumkannya, tanpa harus menyuratinya, hanya menyiratkan saja, itu pun bagi orang-orang yang memikirkannya.

Ketika petinggi junta militer Myanmar menghantam ribuan demonstran termasuk didalamnya ratusan Bikshu, dan melakukan sapu bersih penangkapan dan penyiksaan, bukankah itu cermin arogansi yang sangat mencengangkan dunia. Bukankah Bikshu itu seorang yang sangat dekat dengan Tuhannya. Bukankah yang disiksa itu rakyatnya sendiri, bukankah yang dihalau itu mereka yang ingin menyampaikan ketidak adilan. Dunia hanya bisa menyeru tapi tidak bisa bertindak lebih jauh. Maka sekali lagi tangan Tuhan memperlihatkan keperkasaannya dengan menyapu seluruh delta Irawady yang subur melalui badai tropis paling menghancurkan. Seratus limapuluh ribu orang tewas, hilang tersapu badai. Bukankah itu juga salah satu tanda-tanda kebesaran Allah bagi mereka yang memikirkannya.

Beberapa akhir ayat dalam Al Quran membahasakan kalimat dengan santun namun syarat makna: Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang yang memikirkannya. Renungan religi dengan mengedepankan bahasa hati akan menjawab semua fenomena bahwa menikmati kehidupan di bumi Allah ini adalah membawa misi pertanggungjawaban karena makhluk yang bernama manusia itu adalah khalifah yang memimpin bumi. Sementara para pemimpin yang diamanahkan oleh sekelompok ummat atau rakyat adalah pilihan berdasarkan mekanisme untuk melaksanakan amanah dan tanggung jawab kepemimpinan yang diembannya.

Pemimpin adalah promotor sekaligus motor untuk menggerakkan dinamika yang bernama organisasi mulai dari organisasi level rendah sampai level tinggi, bisa dalam bentuk organisasi perkantoran, organisasi militer, bisa pula dalam bentuk organisasi kenegaraan. Gerak langkah organisasi yang dikomandoi oleh pemimpin akan memberikan gaya yang berbeda satu sama lainnya. Ada yang memiliki style flamboyan, ada yang tegas dan lugas, ada juga yang mengedepankan kebersamaan untuk maju bersama. Tetapi tidak sedikit yang hanya menyanjung ke atas berrmental hipokrit.

Apa pun itu, amanah yang dilakukan seorang pemimpin adalah bagian dari catatan harian yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Sejatinya adalah mampu memberikan korelasi antara nilai manfaat dan kemaslahatan bagi sumber daya dan goal. Jika yang diutamakan hanya goal jadilah seperti Bush, Blair atau Howard. Proses mencapai tujuan dilanggar dengan tidak menghormati norma proses yang berkaitan dengan instink kultur, perilaku dan mentang-mentang. Dalam kacamata demokrasi mereka lengser secara bijaksana karena memang sudah harus turun dan itu juga salah satu wisdom yang diperlihatkan dalam kebijaksanaan Tuhan. Walaupun coretan cerita tentang sikap aniaya mereka ketika memimpin adalah dosa horizontal yang disumpahi banyak orang.

Pesan singkatnya sederhana saja, jadilah pemimpin yang mengayomi, bersikap bijaksana, tidak berpihak, tidak melakukan diskriminasi, standar ganda sehingga akan menjadi keberkahan nilai hidup dan pahala bathin yang dipadankan dengan sejarah catatan kepemimpinan. Bukankah hidup ini hanya menjalankan amanah, tanggung jawab setelah itu kembali menuju keabadian. Bukankah pertanggungjawaban kepemimpinan adalah penceritaan testimoni dari perilaku yang diperlihatkan selama kepemimpinan. Bukankah itu atas nama hati nurani, bukankah itu atas nama bahasa hati. Dan hanya suara hati yang bisa menjawab dan mengamininya.-

Monday, August 25, 2008

Pelukan Ramadhan


Datang lagi penantian dari sebelas bulan sebelumnya, sebuah bulan purnama bulat bundar berdurasi bilangan qomariyah yang mengantarkan sejuta keindahan dan keteduhan nuraini berwajah bening. Sekuntum bunga cinta dan seikat kembang kasih sayang terbuka dan dibuka kembali oleh Allah dengan password untuk orang-orang yang beriman, melaksanakan interaksi kompleksitas ibadah di kelas utama yang bergaransi penuh. Jaminan terhadap tersenyumnya rahmat, berkat dan maghfiroh dipersembahkan kepada wajah-wajah pecinta sejati Al Quran dan Sunnah Rasul.

Adalah bukti kasih sayangMu yang memberikan sekali lagi kesempatan untuk ummat yang istiqomah melantunkan dan menayangkan pembuktian rasa tahu diri sebagai makhluk yang memiliki kecerdasan spritual. Itulah sebabnya Engkau selalu memulainya dengan Yaa Ayyuhallaziinaamanu, sebagai pembatas dan kelas akselerasi yang Engkau sekolahkan dalam semester keimanan yang terakreditasi mutlak dalam ijazah ketaqwaan bergaransi jannah. Engkau tidak memilihnya dari kelas Yaa Ayyuhannaass karena Engkau memberikan nilai performansi hanya kepada orang-orang yang tahu diri dan bisa mengaca diri berkat taufik dan hidayahMu.

Adalah bukti kasih sayangMu jua yang tetap setia memberikan kesempatan pintu taubat terbuka setiap saat kepada seluruh sosok berlabel khalifah fil ardhi untuk kembali pada fithrah membersihkan semua daki khilaf, lalai dan dosa dengan deterjen pensucian tanpa harus membayarnya dengan kurs dosa yang telah menggejolakkan dan menghancurkan nilai-nilai istiqomah. Adalah Allah pula yang selalu membuka mata hatiNya untuk menerima pengampunan dalam cucuran air mata dan penyesalan nashuha yang mendalam. Bukankah ini karena rahman dan rahimNya kepada makhluk tercintaNya yang bernama manusia.

Ramadhan, begitu meriahnya sambutan yang dipestakan untuk mempertontonkan kesiapan mempersandingkan rangkaian ibadah dan pembersihan noda cela yang tercarut marut dalam perjalanan kelalaian lakon, ketidaksengajaan peran yang menyentuh titik singgung kewajiban hablumminallah dan hablumminannas. Ruang yang dipersiapkanNya membuktikan masih adanya rentang waktu untuk memutihkan pusat rohani yang terbungkus dalam bilik kamar hati dan mengadoninya dengan bahan-bahan baku rangkaian ibadah wajib dan sunnah.

Mendulang galian terbuka dengan kesempatan ibadah yang dipergelarkan dalam Tournament of Ibadah oleh Sang Khalik dengan Grand Slam Ramadhan Open, adalah karunia termegah yang dilaunching secara spektakuler melalui proklamasi wahyu yang dikumandangkan dengan kebenaran firmanMu pada qalam di surat nomor 2 ayat 183. Hanya tinggal mendulang wahai orang-orang yang beriman, tidak perlu lagi menambang dengan galian bawah tanah atau bawah laut. Sudah terbentang dalam lahan sejuta hektar yang dibentangkan dengan anugerah asma Allah diperdengarkan dan dikumandangkan pada kesyahduan dan kekhusyukan ibadah dan i’tikaf.

Bukankah itu sepenggal fragmen yang digratiskan Allah dari berjuta nikmat dan karunia yang dipancarkan tanpa harus membayar dari persewaan hidup yang diperuntukkan bagi hambaNya yang memikirkan nilai-nilai eksistensial keMahaanMu. Tidak ada nilai lain yang dapat disetarakan atau bahkan didaftarkan untuk membungkus rasa syukur menghitung kalkulasi esensial limpahan rahmatMu dalam kesempatan meraih prestasi Ramadhan yang bergelimang medali ibadah.

Lantas, ego apalagi yang akan kau jadikan sebagai alasan (wahai manusia) untuk tidak meminang Ramadhan yang Allah siapkan untuk mencuci bersih kekotoran mesin-mesin hati yang harus ganti oli. Sindiran Allah tersurat nyata dalam Ar Rahman : Fabiayyi aalaaa irobbikuma tukazzibaan, berulang kali disuarakan dalam surat cinta Allah Azza wa Jalla. Hanya orang yang berhati batu dan yang tertutup ruang hatinyalah yang akan memalingkan wajahnya dari keindahan bulan suci penuh ampunan ini.

Keangkuhan kita sebagai manusia adalah selalu melihat materialitas keduniaan sebagai target pengukur gengsi keberhasilan mengumpulkan barang titipan. Yang bernama kekayaan, jabatan dan kekuasaan. Padahal disamping sebagai barang pinjaman yang dihibahkan Allah sementara, dia juga adalah amanah yang akan dan harus dipertanggungjawabkan pada hari akumulasi perhitungan.

Keangkuhan dengan label kekayaan, jabatan dan kekuasaan sering menjadikan orang berkacamata kuda dan melihat nilai disekelilingnya hanya berukuran satu dimensi. Padahal hanya dengan ketinggian jangkauan pesawat terbang misalnya, dari jendela kabin kita dapat melihat keperkasaan yang sesungguhnya, alam yang membentang hijau dan biru dengan selimut awan yang melukis kebesaran ciptaanMu. Dimanakah bersemayamnya keangkuhan keperkasaan nisbi seorang anak manusia sehingga buta dan tuli terhadap tanggung jawabnya sebagai khalifah. Hanya ada pada sepotong hati yang merah hati, kalau dia rusak maka rusak pula instrumen kendali diri. Summa rodadnahu asfalasafiliin.

Perjalanan hidup tidaklah sekedar mencermati instink dan naluri biologis, namun lebih mutlak mengapresiasikan air hina yang dipancarkan sebagai sumber eksistensi kehadiran seorang anak manusia yang fithrah di bumi pertanggungjawaban. Untuk kemudian memberi kesaksian ibadah vertikal dan horozontal pada buku dunia yang menjadi batas waktu kehidupannya. Perjalanan yang kita lalui sampai di batas ini dan bertemu kembali dengan bintangnya bulan (Ramadhan) merupakan saat yang tepat melakukan jurnal eliminasi dan closing terhadap setiap transaksi historis dosa dan kemaksiatan yang tidak sesuai dengan accounting treatment aqidah istiqomah. Bersamaan dengan itu marilah kita menjangkau beningnya fithrah dalam meraih kesempurnaan ibadah Ramadhan untuk membuka buku baru yang berjudul Al Fatah (kemenangan).

Selamat datang Ramadhan. Keniscayaan yang Kau hadirkan dalam berkah Lailatul Qadar adalah insentif bonus yang kadar kepekatan nilanya ada dalam genggamanMu. Kami berupaya untuk mencari dan menemukannya, namun bukan untuk menghitung profit margin yang ada didalamnya, karena nilai itu adalah rahasiaMu.

Pencarian kami adalah menjelajah menembus dinding ornamen Ramadhan, menyentuh keperkasaan asmaMu, melantunkan firmanMu, membisikkan doa, menahan beragam keinginan dunia yang tak pernah putus dan tak pernah puas. Penjelajahan kami adalah mencari ridhoMu, mensyukuri rahmat dan karuniaMu, mohon ampun atas segala dosa dan salah. Bukankah dari ridhoMu pula terbukanya semua pintu kerelaan, pintu rahmat dan keselamatan, wahai Allah.

Marhaban ya Ramadhan, wellcome beautiful month. Marilah kita masuki dan nikmati assesment center aqidah ini dengan kebeningan hati untuk memberikan nilai pencerahan iman dan istiqomah. Subhanallah.-
*****

Sesaat Sendiri

Jelajah after mengantar, sepanjang jalan pamularsih, menjelang siang, adalah kehampaan yang merambat naik, menjelajah ruang diri, dan menarik simpul yang mengikat desakan nafas. Duh Gusti, perjalanan panjang mereka, yang kukasihi, adalah hantaran yang mampu menuangkan rasa kesendirian itu, sebentar menghentak dan benar-benar sendiri.

Duhai adinda, duhai ananda, keberangkatan adalah pelukan yang tak mampu diurai dengan bening air mata, tak mampu dituangkan dalam barisan kata, selain adukan hati yang menggugurkan kekuasaaan rasio. Kalian menuju sebuah pusaran , ketika titik kulminasi niat menyenandungkan kepergian sembilan hari yang jauh nun disana.

Pergilah, karena itu adalah perjalanan hakekat
Pergilah, karena itu adalah perjalanan aqidah
Pergilah, karena itu adalah perjalanan niat

Sampaikan salam pada raudah, sampaikan salam pada pusaran tawaf, sampaikan salam pada hakekat keesaan, sampaikan salam pada keagungan yang tiada tara. Dinda dan ananda akan merasakan nilai-nilai yang mengharukan kalbu dan menyematkan tanda perjalanan pada sejuta nilai.

(Catatan 190808)

Wednesday, July 02, 2008

Selat Sunda

Berjalan diatasmu adalah menggelar biru sepanjang mata memandang tanpa kedip karena engkau adalah pujian itu. Engkau adalah pujian itu dan sekaligus pujaan. Ya pujian yang tak bertepi, ya pujaan yang tak terkira sampai kemudian merapatlah kembali menuju etape perjalanan berikutnya. Engkau adalah anugerah yang hanya bisa dibaca dengan melipat hati dan kembali menengadahkan wajah ke langit luas tak berkesudahan, dimana bersemayam pendiri kedaulatan akidah.

Engkau pula yang mampu menepis keangkuhan manakala sejuta persoalan menjelajah hati sempit dan menyilangkan pandangan tak berwarna, tak berasa. Engkaulah gelombang indah itu, gelombang yang memisahkan, gelombang yang menyejukkan, gelombang yang mampu menghijaukan hati dan membuang sampah arogansi pada sejumlah plastik yang bergoyang di permukaan riak.

Pada sejumlah titik kehijauan pulau di depan, adalah itu yang memberikan makna, pada keinginan untuk berlari menuju. Berlari melintasi, berlari mengarungi dan membalas segala rindu untuk dikupas dan dipasang kembali pada bingkai hati yang dahaga untuk disiramkan pada embun pagimu.

Embun pagimu adalah sepoi-sepoi itu
Embun pagimu adalah sinar mentari senja gempita
Embun pagimu adalah alunan riak yang menyapu dinding ferry
Embun pagimu adalah kesejukan menawarkan episode etappe
Embun pagimu adalah siraman biru menyentuh aura

Tuesday, June 17, 2008

Catatan Bulan Hati (3)

Rehat menikmati secangkir kopi, menjelang matahari menidurkan diri, ditengah keringnya udara dan seraut pandang hanya gersang tanah yang memainkan mata. Kusimak cara sajinya, seperti biasa, cepat, lugas dan tentu tanpa tawar harga, karena memang sudah sedemikian standar harganya. Secangkir kopi hangat.

Beberapa baris sejajar bis-bis ukuran besar dengan pintu sebelah kanan yang khas, bagian bawah untuk bagasi, sementara untuk penumpang melalui anak tangga, dengan toilet di sebelah pintu, sebuah karoseri yang anggun. Tentu dengan built up seperti itu, sangat jauh beda dengan yang ada di domestik negeriku untuk menyesuaikan dengen selera.

Bukan itu yang menjadi sirat pandangku semata, karena ukuran hasrat hati yang memandang serombongan kafilah dari negara beda, namun bersamaan tujuan dengan arah yang seirama, putih warna memberikan silhoute cahaya menjelang rembang petang yang indah, sejuk dan merengkuh pusat cara pandang, matahati.

Ya, mereka sama denganku
Ya mereka sama dengan perjalananku
Memakai putih
Menjalankan putih
Melantunkan putih

Untuk dioles pada hati dan menebalkan dinding hati, menambal pada kealpaan jalan yang didapat, dan menjahit dengan sulaman ucap yang menggema bersama dan menangiskan hati. Betapa, rasa itu jua yang kembali hadir untuk mengiringi langkah catatan bulan hati ketika rehat rembang petang menggamit catatan untuk dituliskan pada sejumput kisah yang dijalankan pada haramain yang dituju. Duhai, betapa luasnya putihMu yang dipertontonkan pada serombongan kafilahnya dan kafilahku dengan lagu yang sama jua.

Wednesday, June 11, 2008

Catatan Bulan Hati (2)

Sahabat sembilan hari,
Dengan satu garis bawah, bahwa perjalanan kita adalah pertemuan yang mampu mensucikan lengan dan sinar untuk dibagi bersama, diurai bersama dan dinyanyikan dalam satu ruangan dengan Ac Split yang berisik. Masak sih berisik katamu, dan katanya juga, bukankah ini tanah suci yang memiliki segala kekayaan, katamu. Aku hening saja sembari menyelimuti diri dengan semangat terbaru. Apapun itu, perjalanan sembilan hari adalah silaturrahmi akbar yang mampu mempertemukan diri dengan dua sahabat yang mau mengerti tentang kesepahaman.

Kamu masih banyak bertanya sedangkan dia adalah tempat kita banyak bertanya sehingga lengkaplah jawaban yang diberikan untuk kemerdekaan bersujud dan bertahajjud. Tuhan telah mempertemukan kita ketika perjalanan masih baru dimulai dan sejatinya kita adalah musafir yang mampu mengikatkan diri dengan sentuhan perkawanan, pertemanan dan persahabatan yang dibentuk ketika kita berjalan bersama mengelilingi tujuh kali, tujuh hari dan tujuh bilangan. Sahabat, nilai tertinggi yang kuberikan pada sejumlah paragraf tentang perjalanan suci ini adalah sebagai catatan bulan hati yang mampu menegur egois diri dan melagukannya bersama kita bertiga, berjalan bersama, makan bersama dan menghitung bersama.

Sahabat, betapa eloknya kemudahan yang kita dapatkan ketika dingin dinihari mampu mengajak kita ke perjumpaan di raudah yang mengharukan. Betapa, sebuah waktu yang diberikan ketika masih sunyi dan dingin mengembangkan hari-hari suci di perjalanan suci dan mampu menuangkan berjumlah alinea untuk dicurhatkan pada kekuasaaan mutlak di sebuah tempat ijabah. Betapa aku merasa sebuah fragmen yang mampu menggetarkan seluruh nadi untuk disajikan dengan kesejukan kalimat doa berbaris-baris. Sungguh sebuah episode yang hanya dapat dijelaskan melalui untaian kalimat terapik, sebagai testimoni bahwa tidur sepulas dua jam mampu menyegarkan rangkaian perjalanan duapuluh empat jam tanpa rehat karena rindunya hati pada raudahmu. Betapa kesyahduan dan kaharuan mampu memberikan sinar bening pada sekujur tubuh sampai matahari pagi menyapa dan menyapu halaman Nabawi yang megah, indah dengan sejuta pesona.

Wednesday, June 04, 2008

Catatan Bulan Hati (1)

Adalah hantaran yang menyampaikanku sampai datang kembali menikmati dan menjelajah suci. Menyampaikan curahan hati pada semesta yang Engkau genggam tanpa akhir dan menerangkannya dengan sejuta firman yang Kau bentangkan. Aku datang lagi Rabb, untuk menikmati setangkai bunga keindahan yang Kau semayamkan pada lingkaran tawaf yang putih jernih (meskipun terik sinar mentari menantang suhu untuk berkeringat). Aku menikmatinya dengan lantunan irama hati dan mengirimkan senyum pada sesiapa yang menyapa tanpa harus mengutarakan sebab. Dan jernihlah sinar pandang untuk dibungkus kembali pada rajutan yang disinarkan.

Aku datang kembali menujuMu dan menyampaikan seribu lembar catatan untuk dikukus dengan baris doa. Sepanjang angkasa kulingkarkan asa, kupeluk haribaan dan menyapa tanpa kata, menyapa tanpa suara, menyapa tanpa sela. Menikmati garis lurus sepanjang matahari dan melandaskan luapan manakala sampai untuk bertamu. Sangatlah indah ketika mata hati meyapu semua sudut untuk diceritakan tanpa harus dikirimkan karena diri ada di halaman suci untuk memeluk auraMu.-(190408)

Wednesday, April 09, 2008

Menjelang Siang

Menunggu untuk keberangkatan, pada sebuah fokus yang ingin disyahdukan dengan linangan dan menggamitnya menjadi totalitas untuk penyerahan. Aku ingin menjamahnya dengan keseluruhan nadi dan memasukinya dengan putih bathin dan melontarkan sejuta bait tentang kefanaan yang didapatkan. Tentang nilai yang diperoleh, tentang garis yang digoreskan, pada batas ini, pada tepi ini ketika pantai tak menawarkan apapun kecuali debur ombak.

Akan kukatakan pada bayu di ketinggian atas awan, aku berangkat untuk menyampaikan, aku berangkat untuk mengatakan, aku berangkat untuk menceritakan. Bahwa lagu yang kusandingkan dengan kehangatan nadi hati adalah untuk menyatakan, bahwa aku tidak bersemangat melanjutkan. Dan hanya pada sejumlah dialog kusampaikan dengan kesamaan pandang, aku tidak ingin melanjutkan halaman, aku tidak ingin membaca lanjutan cerita, aku tidak ingin melanjutkan langkah.

Halaman buku yang kubaca adalah untuk menggantikan semua corak pandang tentang sebuah warna rutinitas yang menjadikan langkah jalan di depan seperti menanti hujan yang tak kunjung reda. Tetapi itu lebih baik ketimbang menawarkan berita tanpa isi sembari memandang wajah autis yang menari tanpa irama yang jelas. Dan sejumlah bingkisan yang disampaikan adalah untuk memberikan aura bahwa kesepahaman adalah bangunan yang apik untuk disejajarkan dengan kesetaran peran dan kesamaan pandang.
*****

Kuingin pastikan dengan senandung
Kuingin yakinkan dengan dengan lantunan
(Untuk sampai pada jalan searah saja)

Sudah kusampaikan
Sudah kuutarakan
Sudah kuceritakan
Bahwa halte di depan adalah yang terakhir
Bahwa persimpangan di ujung adalah usai
(Untuk sampai pada sehasta dekapan)

Bersiap pada seuntai andaikata
Berlari pada sejumput seandainya
Berdiri pada sebuah sinar lembayung
Bersila pada sebutir asa akhir

Bacaan adalah cerminan
Untuk menggali yang belum tercetus
Untuk menawar yang belum dibeli
Untuk mengais yang belum terbuang
Untuk menampung yang belum tercecer.
*****

Wednesday, March 26, 2008

Safari Timur

Cerah hari mengawali langkah bersama menuju timur yang lama tak disapa. Dan sepanjang jalan adalah memainkan irama dengan nyanyian keteduhan sembari terus memacu dan mengejar. Dan usai pula sehari perjalanan ke Sby dengan sambutan hujan deras yang membasahi kota. Akhirnya sampai jua ketika rasa ingin menyapu sejumlah asumsi untuk dicapai dan dijelajah.

Sambutan adalah kesenjangan ketika harus menjaga waktu untuk menanti. Tetapi bukankah tidak harus menepikan warna kebersamaan ketika pada saatnya bersua dengan cerah hati dan cerah ucap. Semua berjabat dan kehangatan adalah menu yang digambar bersama celoteh tak sua sekian halaman. Dan keasyikan berbagi suasana mampu meminjam hasrat yang lama tak ditorehkan. Waktu jua yang mendatangkan nilai persaudaraan dan waktu jua yang menghabiskan jalinan cerita.

Seingat hari, adalah nilai perjalanan yang membuat semangat untuk bertemu dengan sejumlah argumen, membawa kafilah dan menyapa dengan seruputan teh hangat menjelang senja. Dan cerita sesudahnya adalah menceritakan kisah tak sua sekian jilid sampai mata memerah tak lagi mendengarkan.
*****

Adalah kesejukan yang menerpa ketika sampai di taman bunga dan buah pegunungan. Sekedar berjalan sembari menapak tilas Batu, bahwa aku pernah kesini, dan kini menyapa kembali bersama, memandang seluas mata memandang, hijau segar, sejuk rasa, sejuk aroma. Kemudian berjalan lagi dan menghabiskan hari dengan Jatim Park yang memesona. Kubiarkan semua lepas, semua menjajakan gairah, ada tornado, ada kumpulan koleksi, ada gemericik, dan semua yang menyaksikan adalah kesegaran membagi waktu untuk kepuasan bermain, berjalan dan menjelajah.

Menikmati hidangan menjelang terbenam matahari, mengganti rasa lelah dengan menyantap hidangan ikan bakar di ruang yang ramai dan menyenangkan. Sebuah sajian yang cepat dan lezat menuntaskan rasa lapar dan menggantinya dengan kecupan rasa yang bernilai sembilan, cepat dan nikmat. Semua tertawa, semua puas, dan kembali dengan kecepatan penuh. Tak lupa menyisir pinggiran lumpur fenomenal, luar biasa, dan merasakan suasana yang mencekam, melewati barisan rumah tak berpenghuni, tak beratap, menyisakan kepedihan karena aliran lumpur panas itu.

Malam dibentang dengan lanjutan perjalanan, kali ini melewati utara dengan asumsi lebih cepat. Dan rute perjalanan tak sengaja melewati WBL, yang jadi omongan itu, besar, megah dan menjanjikan keinginan untuk datang. Ya ada waktu khusus untuk datang pada saatnya, setidaknya rute yang dilewati sudah bisa diukur, tinggal membagi waktunya saja. Dan pagi menjelang, purnalah rangkaian perjalanan lengkap yang menyenangkan.
****

Sunday, March 16, 2008

Perjumpaan Tidak Harus

Ada perjumpaan yang mengharukan menjelang Subuh ketika pelukan hangat dari seraut wajah tua nan letih menyambut di pintu kehangatan. Rindu bunda untuk menatap, rindu rasa untuk mengadu, rindu kata untuk diucap. Disongsong dan diceritakan tentang suasana dan keseksamaan. Ya itulah kesederhanaan ketika kucoba meyakinkan untuk berangkat bersama, tidak jua harus ada persetujuan dengan mempertimbangkan renta dan kesudahan.

Mengalir cerita tentang titik simpang, tentang penyudahan pada simpul yang dirajut tanpa benang, tanpa sulam. Mengalir cerita tentang penyelesaian tanpa harus terikat lagi karena memang tak ada hirarki yang harus dituju. Dan Bunda mengerti, memahami dan menyapa dengan kelembutan hati. Berangkatlah dengan kesendirian itu dan mohonlah segala tumpahan untuk diceritakan pada rumah suci keakbaran.

Perjumpaan tidak harus pada sebuah argumentasi. Walaupun keinginan untuk berjalan beriringan menjelajah pusat keharibaan yang senantiasa dirindukan adalah jalinan mimpi yang tertayang pada saat menerawang. Tapi itulah bunda, tak harus jua dengan persetujuan karena renta adalah keinginan yang menjadi tak ingin untuk harus, cukuplah dengan tafakkur dan sujid tahajjud dinihari. Duh betapa beningnya suara bunda menyapa dan memeluk hangat diriku dan menjalinkan kalimat untuk dicerna pada kamar hati. Betapa argumen itu memberikan ketulusan pada sikap untuk tidak harus karena matahari sudah mendekati horizon. Doa bunda selalu menyertaimu, kalimat yang mampu menjalankan semangatku untuk kembali dengan senyum. Duhai bunda.

Aku pulang sendirian
Aku berangkat sendirian
Aku menjelajah sendirian
(wajah istri pun berbinar untuk mengantar dan menghampiri)
*****

Friday, February 29, 2008

Jadi Headline

Kadang kita tak meminta tetapi justru dibutuhkan. Sepanjang pekan ini aku bisa menyelesaikan beberapa tulisan serial yang menjadi highlight, setidaknya dengan asumsi dan opiniku. Dan ketika dipublikasikan terbatas ternyata salah satunya diminta menjadi headline media internal. Beberapa tulisan yang lain juga sudah dipublikasikan dan tentu memberikan nilai kepuasan ketika aku bisa menjelaskan tanpa harus berdiri. Biarkan semua mengalir seperti apa adanya, memberikan argumen selengkap mungkin.

Begitulah, semampuku ingin kusampakan pesan bahwa nilai tidak harus dikumandangkan pada penampilan, tidak jua harus dijadikan episentrum kebisaan. Biasa saja dan semua orang punya nilai setidaknya dimata dirinya dan keluarganya. Sifat egois itu lahir dari penyanjungan pada kehebatan diri yang sudah merasa tahu akan semuanya. Padahal hanya secuil dan setitik air yang cepat menguap.

Kadang aku saksikan celotehan orang yang bermental autis dan egois, merasa sudah paling pintar, padahal hanya pintar membolak balik kalimat. Lucunya lagi kalau ada orang lain yang memiliki argumen beda lantas dia mencak-mencak seperti ya itu orang autis. Sebenarnya tipe orang seperti itu hanya sebatas memproklamirkan keangkuhannya, tapi dia lupa bahwa ilmunya hanya sebatas itu. Padahal padi semakin berisi semakin runduk. Ya namanya saja orang yang tak mampu mengembangkan kearifan peran. Kelihatan dari kedengkian sikap dan perilaku yang merasa sudah menjadi setengah dewa padahal hanya sebongkah reco buntung.

Monday, February 18, 2008

Kerinduan untuk dijelajah ulang

Makin kudekap saja kerinduan itu untuk dijelajah ulang. Dan semakin kunapaktilasi dalam setiap perenungan, makin terang pula kisah-kisah yang menjahit hari sampai empat puluh halaman, ketika itu. Dan jelajah hati untuk kembali menyentuhnya memberi semangat putih untuk bisa menyapanya beberapa kalender mendatang.

Meskipun begitu, kupersiapkan jua agar semuanya dapat memberikan kesyahduan. Dan itu adalah bagian dari membasuh dan mencuci dengan seikat kembang pewangi dan kusampaikan pada sekujur diri. Bersihkanlah, beningkanlah sampai ke pusat nadi, sampai ke pusat hati dan kabarkan pada segenap bahwa persiapan memerlukan sinar matahari sekian edar untuk memastikan kesegaran dan kesiapan menjalani hari-hari pelukan dan dekapan.

Ya, rangkuman yang ingin kulepaskan adalah menceritakan tentang kehebatan samudera biru.
Ya, cerita yang ingin kusampaikan adalah mengadukan pasang hati pada pemilik keniscayaan.
Ya, sketsa yang ingin kugambar adalah melukiskan kembali cakrawala horizon yang jingga.
Ya, tulisan yang ingin kugelar adalah menyampaikan bingkisan nada untuk dilantunkan.

Pada perjalanan delapan hari, pada halaman delapan lembar, pada sejumlah disposisi yang sudah digenggam dan dihanyutkan dengan seluruh riak. Pada semua yang menjadi gurat dan garis, pada semua yang menjadi pekat nuansa, adalah sebungkus kado yang ingin kusampaikan ketika membuka pintu, dan memeluk keagungan.

Semoga menjadi putih
Semoga menjadi bening
Semoga menjadi sinar
Semoga menjadi layar
(Makin kudekap saja kerinduan itu untuk dijelajah ulang)

Monday, February 11, 2008

Persamaannya

Persamaan tentang cerita yang kau sampaikan adalah deru bayu yang menggantikan baju peran ketika engkau pun tahu jalan cerita sesungguhnya. Dan engkau juga banyak bercerita tentang berbagai sketsa di pembaringan hati. Dan dengan kata hati itu jua aku menyimak cara tutur yang apresiatif manakala sejumlah kalimat bertema kemiripan judul disenandungkan dengan keyakinan bathin.

Bahwa bagian paragraf menjadi sampiran yang menandakan kebersamaan rasa, adalah itu yang mampu membangunkan curahan rasa untuk diaduk bersama. Bahwa ada saat untuk melengkingkan nada, ada saat untuk menjaga irama. Manifestonya adalah tak lagi membuka peluang karena segala cara sudah dirumuskan dan ditandatangani, namun tetap saja bermain di seputar ranah merah hati menggumpal.

Biar saja mahkamah pengadil yang memberikan simpulan argumentasi karena sudut pandang adalah bagian dari penjelasan rasa. Dan bolak balik perjalanan hati sembari menyapa rambu kebolehan dan ketidakbolehan tetap saja memberikan simpulan bahwa memang dengki yang bersemayam di sudut sosok adalah definisi yang mampu diceritakan lewat raut wajah tanpa wudhu. Karena hatinya adalah pusat ego serba ada yang disebar melalui fitnah dan olah kalimat tanpa jeda. Itulah persamaan ceritanya, sahabatku.

Wednesday, February 06, 2008

Sinema Itu

Sinema yang diperlihatkan adalah ketidakjelasan apa sebenarnya yang ingin dijalankan. Ketegasan protagonis tak jua tampak selain hanya mencoba memberikan sebutir senyum sebagai tanda tak ada dinamika, seakan seperti itu. Padahal sejumlah catatan pantas dikedepankan, tak mampu mengeliminir, hanya bisa menyampaikan pesan di belakang pintu. Tak jelas apa warna decision yang ditayangkan dan membawa sebungkus jampi untuk dijampi-jampi.

Bagiku, kriteria itu adalah perlambang ketidakmampuan untuk membawa, ketidakmampuan untuk mengarahkan dan kegagalan untuk mengajak serta. Yang terjadi adalah rutinitas layout. Terus kalau ada yang membantah, lantas gelagapan, berputar-putar tak mampu mencari solusi dan dibiarkan mengambang. Lantas esoknya ada cerita yang sudah bisa dijelaskan, bahwa akhirnya djalankan sendiri tanpa mufakat lagi.

Begitulah, dan kebosanan melanda hampir semua penumpang. Tema cerita adalah tentang sebuah style yang tak jelas urutan warnanya. Mau hitam putih tak jua kelihatan, mau dibikin warna warni sudah pula orang melihat sebagai kejenuhan tanpa seluk beluk. Dan tidak ada yang perlu disambung kecuali sekedar menggugurkan kewajiban, mengisi kebosanan dengan peribahasa.

Ketidakmampuannya boleh jadi sudah mendekati kriteria menzalimi karena tak mampu membuka peta peran, tak mampu mengajak diskusi apalagi kalau sudah sampai sepakat untuk tak sepakat. Ketika dulu menghadapi situasi yang sama, jalan cerita tak lagi menjadi titik pijak untuk dipersamakan, minimal mengajak suara hati untuk beriringan. Itu saja tak bisa apalagi mengajak sosok, berat nian yang dibawa dengan tanjakan didepan.

****

Tuesday, February 05, 2008

Bahwa

Bukannya untuk mempertentangkannya tapi sekedar berbagi gambar, berbagi cerita, sekian bilangan tahun. Apa yang didapat selain dari datarnya jalan dan tak jua mencapai pasir pantai landai. Maka tidak salah jua kalau dipertanyakan sudah sejauh mana visi yang disiarluaskan dari sudut ruang.

Tidak ada terdengar bunyi, hanya desir suara AC yang kewalahan menampung sinar panas dan mencoba menjinakkannya. Tidak ada kabar apapun selain tetap saja bermain dengan kalender. Bahwa banyak yang menjadi catatan sudah pula yang diceritakan. Tentang ketidaksamaan, tentang jalan pikirnya, tentang gaya dan senandung keseharian yang tak jua menyimpulkan sama dengan, kecuali titik-titik tanpa koma.

Wajar saja kalau kemudian menjadi tak layak pantas, karena nilai menjadi absurd dan berlandas teori kepentingan. Dan suasana yang disantap adalah menceritakan kembali sembari memamah biak tentang cara pandang dan argumen ketidak jelasan. Dan itulah menu yang mulai dicernakan tanpa pergantian. Ternyata hanya untuk kepentingan sendiri, untuk menyelamatkan diri sendiri, berbungkus senyum tetapi tak pernah mampu memberikan solusi.

Thursday, January 17, 2008

Sedetik ini

Sedetik ini ada cerita tentang riuh gemuruh yang direkam dengan anggukan dan dukungan untuk menggantikan dan mengedepankan. Seminggu berlayar dan menjelmakan sebuah pelabuhan pergantian. Dan aku bergegas saja untuk menyalin kembali dan meletakkan dasar-dasar amanah yang diemban.

Dan semua dihijaukan dengan pandangan sejuk, dan semua dihijaukan dengan langkah pasti untuk menjelaskan langkah yang dipastikan. Maka semuanya kurencanakan dengan sebutan total football, meyakinkan anggota untuk berjalan dan bernyanyi bersama, membersihkan sisi dinding yang masih berdebu menahun.

Sedetik ini menghela nafas sejenak sembari mengabarkan berita untuk semua, bahwa undangan yang telah disebar adalah manifestasi untuk langkah dan harapan. Dan sebisanya disuarakan bahwa tanpa garis tebal, niat tak perlu diulang kata, cukuplah dengan pembuktian bahwa pamrih tidak dibawa serta dalam pelayaran perdana, sekali lagi tidak membawa pamrih.

Oleh karenanya titipan yang hendak dikumandangkan adalah merumuskan cara kelola untuk sebuah tujuan dua lembar yang sudah ditulis dan dibincangkan, semua setuju dan semua berjalan. Dan bawaan pesan yang dihayatkan adalah senandung doa untuk meniti cara pandang yang membawa kebeningan dan keluasan peran, mengendalikan dan mengajak pada sebuah horizon untuk dipandang dengan matahati. Keniscayaan yang dibangun adalah menafsirkan asa pada seikat doa dan upaya untuk mampu membawa dan mengemban. Semoga mampu menembus awan untuk mencapai langit biru.

(Thanks for all untuk kesepakatan mengangkat amanah menjadi sinar benderang, memakmurkan dan memolesnya sebagai tanggung jawab. InsyaAllah menjadi sebuah nilai yang bisa ditandingkan).
****

Tuesday, January 08, 2008

Untuk Bang Syahrul

Teruslah berjuang Bang Syahrul, apapun warna langitmu karena engkau adalah pelangiku, pelangi kami, pelangi republik Telkom. Tulisan Bang Ferdi yang disiarluaskan via milis itu sudah kubaca dan kuhayati dengan kebeningan hati bahwa sejatinya engkau adalah pahlawan di pelangi merah kuning hijau. Engkau adalah ikon istiqomah dari sebuah kisah perjalan mengawal republik Telkom dari gerusan abrasi dan erosi berlabel kapitalis. Engkau adalah potret sesungguhnya dari perjuangan tak kenal lelah demi menjaga eksistensi dan kebanggaan pada jiwa patriot nasionalisme.

Jangan susutkan sinar matamu yang flamboyan itu manakala ongkos perjuangan yang kau dapatkan hanyalah angin kering di tengah gurun, karena jiwa seorang pejuang sesungguhnya adalah episentrum jihad tanpa harus memproklamasikannya. Aku salut dengan ketegaran yang engkau miliki, sikap dan langkahmu yang maju tak gentar membela yang benar, bukan maju tak gentar membela yang bayar. Engkau mampu memberikan deteksi dini dan cara pandang seluas horizon manakala perspektif dan persepsi dihidangkan di meja serikat untuk dibawa pada argumentasi bernilai berlian.

Kita tak pernah berbicara panjang, kita tak pernah sapu pandang, kita tak pernah jalan bersama dan engkau juga tak dekat denganku, tapi aku selalu mengikuti gerak langkahmu yang tanpa gentar itu untuk merubah cara pandang, untuk ikut mengukir nilai sejarah bisnis perusahaan kita, untuk melawan segala bentuk kezaliman bisnis yang ingin memporakporandakan NKRT (Negara Kesatuan Republik Telkom).

Teruslah berjuang Bang. Seorang pahlawan tidak perlu harus selalu berkorelasi dengan benefit dan kompensasi karena pahala jariyah yang abang lakukan adalah khoirunnasi anfa’uhum linnass. Abang dimataku adalah orang terbaik di korps kita yang mampu memberikan nilai manfaat untuk banyak employee. Perjuangan yang abang lakukan adalah menuliskan prasasti untuk perjuangan cerita bisnis agar republik Telkom tidak menjadi batu nisan.

Aku selalu mendoakan abang, dan Allah Azza wa Jalla selalu memberikan siraman rahman dan rahimNya untuk diselimutkan pada sekeping hati yang selalu diterpa angin kering. Bahwa nilai cum laude di mata Allah adalah kado hati yang paling berlian untuk disematkan pada ketegaran jiwa yang berjuang untuk kepentingan khalayak yang berkebun di ladang ini. Pahalanya, Bang, adalah senyum dan pelukan hangat dari Allah yang penyayang tatkala kita bersujud tahajjud.

Wassalam,-

Saturday, January 05, 2008

Jenuh

Suguhan referensi sudah banyak menjelaskan namun secara praktisi perlu ada polesan untuk kriteria seorang pimpinan, tepatnya naluri kepemimpinan. Bahwa seorang pemimpin hars mampu membawa, harus mampu mengajak sudah banyak yang menjelaskannya, namun ketika berbicara tentang persamaan dan gaya, itulah yang memberikan warna sesungguhnya tentang kemampuan membawa dan mengajak itu.

Ketegasan perlu diajak dalam beberapa hal yang memerlukan payung itu, setidaknya agar pengelolaan kebersamaan tadi bisa membawa perspektif dalam persuasi. Bahwa yang terjadi kemudian adalah ketidakmampuan menyelesaikan persoalan interaksi, itulah gambaran tentang leadership yang belum matang. Riteme yang dibawa tergantung suasana peserta, tergantung siapa yang banyak omong, dan tidak bisa mencerna tentang asa dan peluang. Yang ada kemudian adalah berusaha untuk tidak terjadi riak dengan bersenandung bahwa laut tetap berwarna biru, padahal tidak jua secerah yang diceritakan dalam sketsa ruang.

Selama rentang waktu itu, semakin jelas permainan peran yang dikedepankan. Tentang anomali orang bermental banci, tentang peran dominan yang hanya jago kandang, tentang gaya preman yang bermental lontong sayur. Tentang pemutarbalikan opini, tentang ego sektoral yang merasa sebagai tokoh protagonis. Itu tidak bisa dikelola oleh gaya amatir yang menjadikan semua sebagai fragmen tanpa adrenalin. Bahwa semakin jelas duduk ceritanya, tentang kedengkian yang menahun, tentang sms (senang melihat orang susah atau susah melihat orng senang), dikompulasi dengan gaya seorang bujang lapuk yang gagah gemulai, merasa sudah menjadi bintang sinetron pendekar tak punya nyali.

Ya, kepemimpinan adalah bagian dari pengaturan itu. Sayangnya tak mampu untuk menjabarkannya apalagi merangkul untuk berjalan bersama, berlari bersama. Maka bagian yang paling mampu diterangkan adalah episode berjabat tangan, membuka senyum, lalu mengisi alinea dengan berbagai disposisi tanpa pernah menjamah solusi permanen. Bedanya hanya, preman lontong tidak lagi mengumbar gaya bicara bermental autis, atau si gagah gemulai yang semakin renta sikap, kaku gaya dan (paling tidak akan menjadi jompo tanpa nilai keluarga dan kasih sayang).

Tapi, hari tidak harus selasa melulu, hari tidak harus gulita melulu. Maka upaya adalah bagian dari pencaharian titik simpang dan mengakomodasikannya dengan transformasi cerita dan peran. Dan upaya itu adalah bagian dari pembebasan itu, dan upaya itu adalah bagin dari up grade itu, dan mengkalkulasi pada sejumlah pilihan, berlari, berjalan, dan berhenti di halte sampai ada bus yang membawa ke tujuan berikutnya.

*****

Thursday, January 03, 2008

Kabar

Kabar sesungguhnya adalah gubahan bayu yang dikumandangkan dengan frekuensi kadar telinga based on susunan kalimat yang dicelupkan pada pemahaman isian. Kabarku baik-baik saja, dan sentuhan bunyi itu memastikan bahwa ada yang sudah ditumpahkan dengan lentingan nada dan diterima dengan senyum bergaris lembayung.

Dan kabar yang membawa pada cerita jalan, cerita sepanjang jalan, cerita selama memandang, cerita selama menyapa adalah ukuran yang disematkan pada sejumlah pin dan merekamnya pada perspektif dan persepsi diri. Tak perlu jua memastikan pemahaman orang lain jika cerita hati ingin dilagukan pada senandung harap yang belum tersntuh.

Oleh-oleh dari sejumlah halte yang kusinggahi adalah penyertaan pada pandangan biru muda dan menarikannya dengan irama sentuh. Cerita dari sejumlah ruang yang kusinggahi adalah memastikan bahwa tempat yang telah kupesan adalah keharusan untuk menikmatinya walaupun sesaat dan mencoba mengabarkan pada sekeliling bahwa aku pernah ada, aku pernah datang, aku pernah sapa.

Oleh-oleh dan cerita itu sudah kukemas dan kubacakan pada sebuah prasasti bahwa setiap langkah yang kudapatkan adalah menyertakan kabar pada sejumlah jendela pandang, dan melepaskan rindu hati dengan nyanyian tanpa syair. Dan kabar yang dilepaskan adalah mengurai kata hati dengan segelas minuman dingin, mereguknya dan mengulanginya lagi sembari menjelaskan pada billboard bahwa aku pernah cerita, aku pernah kabarkan ke khasanah luas.

Lama tak berkabar
Karena musim ingin bercerita
Lama tak bercerita
Karena musim ingin menyapa
Lama tak menyapa
Karena musim ingin memandang

Bukankah tidak harus selalu pada dialektika
Ketika genggaman mampu menjamah alunan
Bukankah tidak harus selalu pada jendela
Ketika angin bertiup menyampaikan dingin
*****