Wednesday, November 11, 2009

Apakah Kita Tidak Menyadari

Apakah kita tidak menyadari rangkaian testimoni dan pengakuan dua minggu ini adalah sebuah pertanda, sebuah alamat yang ingin mengajak kita untuk berbuka, membuka dan dibuka bersama. Apakah kita tidak menyadari isak tangis yang dipertontonkan itu adalah bagian dari skenario Tuhan untuk membuka kebusukan, kehinaan dan yang sederajat dengannya manakala kita sudah tertutup awan kemunafikan berselimut rupiah haram. Apakah kita tidak menyadari rangkaian sumpah dengan menyebut nama Tuhan dan disiarkan langsung itu akan memberikan gaung yang mengaum melintas generasi penyampai sumpah jika hanya gelas tanpa isi.

Lalu mengapa Tuhan tidak menampakkan diriNya atau jangan-jangan malah ikut menonton siaran langsung itu. Atau -meminjam istilah Massardi yang baca puisi di bundaran HI- jangan cepat-cepat mengadu pada Tuhan karena ini negeri para bedebah. Ada dua ruang jawab berbisik di kamar hati nurani ketika menyapa dinihari, adalah karena ini bukan tanah suci, bisa jadi tidak langsung dibayar tunai olehNya. Adalah ini ujian nasional yang seluruh soalnya tidak ada di BAP, tidak ada di testimoni, tapi di suara hati yang ingin mengajak ummat berlaku kembali pada khittah fitrah, bukan merayakan fitrah seperti pada idul fitri.

Lalu mengapa kita tidak menyadari juga manakala negeri ini selalu digoyang gempa seperti makan obat, tiga kali sehari, sampai ada yang menyatakan negeri ini adalah supermarket disaster. MasyaAllah, mengapa kita tidak menyadari jua atau kita menganggap itu bagian dari sinetron breaking news yang mampir di stasiun televisi seluruh dunia. Lantas dengan cara apalagi sekolah keimanan ini disusupkan pada sebongkah hati yang merah darah jika kemudian sertifikat yang dihasilkan berkali-kali hanya dilipat di laci tanpa perlu mendiskusikannya dengan nurani.

Ketika para teroris dihabisi dengan menyebut nama Tuhan, lalu mengapa korupsi, kolusi tidak dihabisi dengan menyebut nama Tuhan, tetapi malah diperdebatkan juga dengan nama Tuhan, membawa nama Tuhan, ada yang pakai Lillahitaala, ada yang pakai Demi Allah. Sebegitu hebatkan kita sampai menjual nama Tuhan padahal baju yang kita pakai adalah kemunafikan dan kefasikan. Sebegitu maha kah kita berani-beraninya menjual nama Tuhan untuk sebuah jabatan yang mati-matian dipelihara.

Wahai Allah, maafkanlah kami yang banyak dusta
Wahai Allah, ampunilah kami yang munafik ini
Wahai Allah, goreskanlah nur hidayahMu di pembuluh nadi kami
(Kami meyakini karena Rahman dan RahimMU mengalahkan AmarahMU, sehingga kami masih bisa terhindar dari azab dan malapetakaMU)
****

1 comment:

SiJitok said...

Sbh perusahaan pe-ranking acara televisi nasional menyampaikan bhw Opera Sabun berjudul Cicak vs Buaya menempati rating yg tinggi & sekuelnya mengalahkan sinetronnya Raam Punjabi.

dr: Iwan Srengseng