Thursday, September 06, 2007

Sketsa

Mohon maaf belum dapat merealisasikan pesanan itu, kucoba kirim imel pada redaksinya karena sesungguhnya pilihan konsentrasiku seminggu ini adalah menyelesaikan bab empat dan lima yang sepertinya maju mundur dan penuh coretan. Dan upaya yang kulakukan adalah mencoba mencari lagi referensi yang menjadi landasan untuk tampil nanti, kan gak lucu jika ditanya argumennya aku gak bisa memberikan justifikasi yang memuaskan. Kukatakan saja biarkan agak lambat karena aku ingin menikmatinya dulu, menikmati jalinan bab demi bab itu menghubungkannya, mengilhaminya sembari memaknainya lebih dalam lagi. Silakan untuk yang mau menyalip, toh kadarnya sudah kuketahui seperti apa. Lagian gak ngaruh juga loh, paling cuma duluan menarik nafas panjang.

(Thanks to Dm yang selalu memberikan masukan untuk kesempurnaannya, semakin jelas kadar intelektualitas kamu, dan semakin jelas pula kadar pertemanan yang dibangun dengan semangat kerjasama. Yang lain sepertinya mirip upacara bendera, setelah hormat lalu bubar gak jelas kemana).
*****
Ada persamaannya, kataku via phone ketika sobat dekat Rabu siang ini sedikit curhat.
Hampir mirip, selaku, ketika dia mulai cerita satu alinea.
Apa yang diomongkan sesorang itu adalah cerminan ruang hatinya, kalimat itu adalah ungkapan, jadi kalau ada orang yang hobbynya gembar-gembor apalagi laki-laki pasti mulutnya ember dan hatinya penuh dengan lumpur kedengkian. Ada juga yang senangnya grusa-grusu, kalau mulutnya diam malah seperti ada yang hilang, tapi biasanya cuma bisa ngomong sama lingkaran dalamnya, keluar mirip bagong banci, persis deh.
Trus, biasanya jika diteliti selalu ada yang salah sekrup, misalnya terlalu sering engsel diputar tapi lupa mengolesinya dengan oli, jadilah dia mirip orang yang terserang penyakit autis cangkem, tidak dapat kontrol kalimat dan cenderung jago omong tapi miskin makna.
Ada juga yang hobbynya kalau ketemu atau bersua selalu jabat tangan, merasa akrab padahal sesungguhnya obral dengki dengan menjual cerita dan menyebar riak. Dikira dia sudah merasa paling bersih tapi sekali waktu ada saja yang bilang ternyata luarnya saja yang gemuruh padahal didalamnya penuh dengan bopeng dan kadas. Coba lihat saja, katanya.
Ada persamaannya dan mirip loh dengan barisan yang bercerita itu, kataku.
Oh,ya, kata sobat ini, sempat terperanjat diujung telepon sana. So, kataku, itu yang disebut autis hati, autis mulut, autis sikap dan itu melebihi dari definisi autis itu sendiri, soalnya orang yang kena penyakit autis bathin bisanya merasa paling hebat, cuma ngomong doang dan hanya itu bisanya. Maka ceritamu itu kukunyah saja fren, soalnya disekitar yang bernama taman rutinitas itu selalu ada belalang yang memakan daun, kutu loncat, tapi sesungguhnya hanya mampu mengikis makna. Aku salut dengan sikapmu dan sejak dulu aku tahu konsistensimu itu, kataku mengakhiri.
*****

No comments: