Wednesday, February 06, 2008

Sinema Itu

Sinema yang diperlihatkan adalah ketidakjelasan apa sebenarnya yang ingin dijalankan. Ketegasan protagonis tak jua tampak selain hanya mencoba memberikan sebutir senyum sebagai tanda tak ada dinamika, seakan seperti itu. Padahal sejumlah catatan pantas dikedepankan, tak mampu mengeliminir, hanya bisa menyampaikan pesan di belakang pintu. Tak jelas apa warna decision yang ditayangkan dan membawa sebungkus jampi untuk dijampi-jampi.

Bagiku, kriteria itu adalah perlambang ketidakmampuan untuk membawa, ketidakmampuan untuk mengarahkan dan kegagalan untuk mengajak serta. Yang terjadi adalah rutinitas layout. Terus kalau ada yang membantah, lantas gelagapan, berputar-putar tak mampu mencari solusi dan dibiarkan mengambang. Lantas esoknya ada cerita yang sudah bisa dijelaskan, bahwa akhirnya djalankan sendiri tanpa mufakat lagi.

Begitulah, dan kebosanan melanda hampir semua penumpang. Tema cerita adalah tentang sebuah style yang tak jelas urutan warnanya. Mau hitam putih tak jua kelihatan, mau dibikin warna warni sudah pula orang melihat sebagai kejenuhan tanpa seluk beluk. Dan tidak ada yang perlu disambung kecuali sekedar menggugurkan kewajiban, mengisi kebosanan dengan peribahasa.

Ketidakmampuannya boleh jadi sudah mendekati kriteria menzalimi karena tak mampu membuka peta peran, tak mampu mengajak diskusi apalagi kalau sudah sampai sepakat untuk tak sepakat. Ketika dulu menghadapi situasi yang sama, jalan cerita tak lagi menjadi titik pijak untuk dipersamakan, minimal mengajak suara hati untuk beriringan. Itu saja tak bisa apalagi mengajak sosok, berat nian yang dibawa dengan tanjakan didepan.

****

No comments: