Sunday, December 02, 2007

Ritme, Oles

Hanya seremoni

Ritme seremoni perpisahan yang menjadi ungkapan bibir manis kira-kira berbunyi begini : Mohon maaf jika selama interaksi ada sikap yang kurang berkenan, hanya sebatas canda dan tidak bermaksud untuk menyakiti. Ungkapan yang klise dan cenderung tanpa makna karena sedikitpun tidak merasa datang dari ruang hati, ruang rasa. Hanya ungkapan lengkung bibir sebagai rukun acara formal untuk melepas. Sekedar ngomong untuk menggugurkan kewajiban.

Seringan itukah yang terungkap, itulah jika tak pandai memandang interaksi sebagai kesetaraan dan merasa hanya berada pada sudut pandang inner, merasa hanya berada pada planet homogen, hanya pandai mengumbar omong sekedar untuk menutupi belang pada dosa masa lalu, dan menikmati karma pada kunjungan rutinitas tanpa pernah selesai. Itulah sebutir kerikil yang ditendang menuju timur mata angin.

Tidak ada makna yang didapat ketika seremoni hanya dijadikan alat untuk pembenaran bahwa atas nama salah, atas nama khilaf, atas nama canda lantas ingin dikubur dengan ungkapan berbahasa seremoni. Lalu dimana tempatnya harkat dan martabat, apakah lantas ditinggalkan saja di terminal atau stasiun karena hanya sebatas canda, hanya sebatas ungkap. Padahal keseharian adalah catatan, keseharian adalah goresan, keseharian adalah baris kalimat, keseharian adalah mematahkan harkat dan menjual obral pada diskon swalayan cerita dan sikap.

Jalan adalah rangkaian kalimat dan jalan yang dituju adalah menuju gaya bahasa pasaran yang tak bernuansa intelektual. Hanya mampu membesarkan volume tanpa memikirkan equalizer kesetaraan rasa dengar, rasa empati dan rasa riang pada gendang telinga. Dan seremoni hanyalah titik sentuh sebuah fragmen, dan bukan menjadi bagian cerita yang hendak dituntaskan karena lapis sikap dan etika itu bukanlah untuk dicandakan jika sudah berada di wilayah konspirasi. Karma akan memberi jawaban dan sudah pula terlihat pada kunjungan rutinitas yang tanpa pernah selesai itu.
******

Senyum didulang

Syukur itu adalah memberitahu, syukur itu adalah memberi, syukur itu adalah menghidangkan, dan kebersamaan yang dibagi adalah menghidangkan silaturrahmi sembari mencicipi dan menghangatkan dengan omongan ringan, obrolan keakraban dan membawanya pada sosok kedekatan dan mendekatkan .

Bahwa cerita Jumat siang menjadi sesuatu yang membahagiakan, adalah itu yang menjadi tema ketika para sobat setia sengaja datang untuk melunaskan undangan, untuk membagi, untuk menikmati dan menceritakannya kembali pada ruang diri masing-masing. Bagiku juga sebuah kesegaran rasa ketika semua yang kuundang ternyata ada membawa diri dan hati untuk menyapa, ada dan merasa, bahwa kita adalah bagian cerita panjang yang memanjang sepanjang jalan cerita. Kita adalah kedekatan yang menjadi sebuah kisah tanpa pernah selesai karena kita mengariskan pada sebuah pernyataan : silaturrahmi adalah pepanjangan aktivitas dan membagi cerita dengan senyum didulang.

Maka, jalan cerita siang ini adalah olesan yang menjelaskan tanpa harus mengumumkannya pada sejumlah hari. Dan cerita siang ini adalah bagian dari menikmati kebersamaan yang selalu kita gariskan pada setiap langkah bermakna. Langkahku yang bermakna dan telah menyelesaikan itu adalah pernyataan sikap pada sebuah judul syukur yang hendak kukumandangkan. Da kehadiran mereka adalah bukti kesetiakawanan ketika ruang diri menyatakan bahwa pertemanan adalah sepanjang usia kerja dan menuliskannya pada prasasti untuk kelestariannya.

*****

No comments: