Tuesday, November 13, 2007

Catatan Ruang

Cum Laude

Sebuah rantai prosesi, semua mempersiapkan dengan segala unjuk penampilan yang ada, untuk menyemarakkan, untuk menyetarakan, untuk menseremonikan, untuk menyaksikan dan menyambut pesan dengan sebutan: telah selesai, telah purna. Dan mata rantai waktu yang diperlukan untuk itu meraup tiga setengah jam pada sebuah Senin episode kedua, undangan biru, sebuah cerita seremoni yang menyenangkan, membanggakan sekaligus melelahkan.

Namun testimoni yang menjadi ukuran nilainya adalah keikutsertaan seluruh orang rumah menyaksikan dan menyambut titik purna yang sudah diakhiri dengan dukungan yang diberikan selama ini. Dan ucapan selamat, jabat tangan erat adalah souvenir yang menghiasi bagian inti ruang hati, ruang mata dan ruang binar yang berbunga, bahwa pada akhirnya usailah sebuah tahapan, selesailah sudah sebuah paket modul yang dikemas mengisi waktu akhir pekan selama satu setengah tahun berselang.

Dan bagian yang menjadi perlambang adalah kiasan pada sebait kata untuk disaksikan dan semoga menjadi daya pikat untuk kedua buah hati yang ikut serta bahwa nilai yang dikedepankan adalah melantunkan sebutan cum laude untuk persepsi dan perspektif pada kekuatan semangat untuk menggapainya. Bukankah itu adalah definisi yang akan memacu sekaligus bercermin pada hakekat mencapai dan menggapai, sesuatu yang mampu diraih dengan kekuatan semangat diri dan keyakinan full orientasi. Bukankah begitu ananda ?

*****
Genggam Kalimat

Kebersamaan untuk menyongsong akhir cerita, kebersamaan untuk menuju ruang masing-masing seperti sediakala ketika kita dipertemukan oleh alur akademik yang menyapa kebersamaan. Dan kebersamaan itu Ahad malam ini diseremonikan sebagai bagian dari ritual dan prosesi yang telah menjadi adat istiadat dan tradisi. Dan malam ini diperdengarkan kembali sepatah dua kata, kesan pesan, rangkaian ucap dan genggaman kalimat sebagai titik akhir jalan cerita. Tentu dengan sejumlah nilai yang dibungkus dan dirapikan melalui secarik kertas tebal formal yang sudah disepakati bahwa satu akhir cerita harus diselesaikan dengan catatan sebutan dalam secarik kertas itu, cum laude.

Dan aku menerimanya dengan sukacita, dan aku menjalaninya dengan ruang nada yang hangat, dan aku menjabatnya dengan senyum rasa anugerah sembari meyakinkan diri bahwa ini adalah sebuah catatan yang diseremonikan dan tentu pula membaginya dengan senyum di sulung yang begitu apresiatif atau si ragil yang senang mendokumentasikannya, atau my wife yang begitu tekun menyaksikannya. Ya ini adalah bagian dari penyelesaian itu, dan ruang yang megah dengan tata acara yang teratur dan penuh keakraban adalah sisi yang menjelaskan cerita sepanjang ruang, sepanjang rasa, sepanjang alur untuk dijelaskan dengan binar mata dan binar hati.

Terimakasih pada jalan cerita
Terimakasih pada sebuah seremoni penutup
Terimakasih pada ruang spirit yang menghangatkan
Terimakasih pada my wife (khumairoh, si merah delima), si sulung dan si ragil yang selalu membanggakan
Terimakasih pada rangkaian yang telah dipergelarkan
Terimakasih for all
*****
Selimut Aqidah

Memahami lantunan kalimat yang disiarkan oleh seorang ustad berkaliber rasanya mampu mengosongkan ruang cerita yang lain, kegiatan yang lain, dan kunikmati rangkaian bahasa dakwah yang ringan, sesekali menggigit dan gaya khas yogya yang dimilikinya. Ustad Wij yang selalu tampil apa adanya, to the point dan banyak mengasah ruang hati yang kadang butek dan memandang pada versi persepsi subyektifitas yang lebih sering kelirunya. Maka ruang lantai satu yang juga berfungsi sebagai masjid itu menjadi ramai rasanya, semarak aromanya dan mampu mengajak audiens untuk betah berlama-lama, tak terasa hampir 2 jam hanya untuk sesi itu.

Alhamdulillah, ada nilai tebalnya, ada nilai halamannya, ada nilai silaturrahminya, ada nilai bait kalimatnya, setidaknya mengajak komponen diri untuk menyapu sekujur diri menyatakan koridor yang menjadi jalan ihdinas sirotol mustaqimnya. Bahwa pembinaan itu perlu, seperti suasana ini, mengingatkan, mempertebal dan meyaksikannya sebagai sebuah genggaman diri. Dan pelukan aqidah untuk diselimuti terus, untuk dipakaikan terus, untuk dinyatakan terus, sampai menjadi bagian dari bungkusan bekal yang membawa hakekat diri.
*****
Nyanyian Kebersamaan

Incognito yang diperdengarkan adalah mencuci pandang rasa dan pandang ruang untuk disematkan pada kisah yang diresumekan malam ini, Jumat malam yang berlapis hujan. Banyak hal yang tercakup ketika obrolan informal, mendekatkan jarak yang mengisi cerita selama ini. Ya di ruang yang dipersiapkan untuk dinner kebersamaan ini bercerita tentang coverage selama bersentuhan modul adalah menggelar kembali bagian-bagian yang mesti dan layak untuk disampaikan ulang, setidaknya sebagai bagian dari kedekatan antara pengajar dan yang diajar untuk nilai silaturrahmi yang dikemas rancak.

Bahwa ada souvenir tentulah itu bagian dari kesepakatan untuk sebuah tanda mata dan sebagai ikatan kedekatan yang telah dibangun selama ini. Maka nyanyian kebersamaan adalah penyejuk yang mampu mengedepankan kedekatan tanpa jarak. Maka sambutan yang diperdengarkan adalah souvenir yang berbungkus kisah untuk disambung terus. Dan itu semua memberikan cakupan bingkai bahwa selesai dalam suatu hal bukanlah sketsa perpisahan yang dicantumkan melainkan sekedar melakukan closing pada sebuah program.

Malam lepas dan basah adalah sambutan yang digelar agar kita tidak menjadi kering dalam persahabatan dan pergantian peran. Semua yang dilakukan adalah menyepakati peran dan lakon, untuk kemudian dijadikan perekat interaksi antar personal. Lapisannya adalah membagi kebersamaan dan memperluas cakrawala nilai diri.
*****

No comments: