Saturday, November 03, 2007

Catatan Perjalanan

Tirta Hati

Gunung kebanggaan itu kutatap lama sekali sembari ingin segera memeluknya didinginnya pagi. Sesekali kuambil dan kurekam jejak tingkahnya dan orang-orang disekitarnya yang masih tetap saja seperti dahulu, tradisionil dan menjaga eksitensi istiadat yang kurindu itu. Hari ini kunikmati pandang hati itu dengan tirta hati dan sembari duduk di teras sebuah toko, kusimak tingkah polah itu dan memberikan apresiasi pada keseharian yang menjadi catatan kesibukan itu.

Kota kecil ini adalah pusat sebuah marga, pusat pertemuan dua religi besar, pusat pertemuan kehangatan adat dan agama yang harmoni. Dan semuanya sudah berlangsung turun temurun, berlangsung apa adanya dan begitulah adanya. Penjagaan terhadap tradisi yang menjadi catatan tanpa koma itu adalah kesaksian yang memberikan nilai kekerabatan yang begitu akbar senilai dengan kebesaran gunung yang mengawalnya dibelakang kota. Sebuah testimoni yang ingin kujadikan sebagai pelangkap paragraf cerita diri.
****
Bingkai itu

Bukankah mereka adalah bingkai kebanggaan itu
Sembari mendoakan kelapangan perjalanan panjangnya
Bahwa itulah silsilah yang menerbitkan kekaguman
Bawa itulah tarombo yang menyenandungkan kebanggaan

Ya, sampai disini aku harus mengangguk
Ya, sampai disini aku harus mengamini
Ya, sampai disini aku harus mengakui
Bahwa mereka adalah catatan yang bernilai emas
Bahwa mereka adalah catatan yang bernilai intan

Maka kunjungan yang kuhampiri adalah membaca temanya
Maka kunjungan yang kusentuh adalah mencatat lukisannya
Maka kunjungan yang kusapa adalah menyatakan garis tebalnya
Dan membawanya pada catatan hati :
Aku telah datang membawa sekuntum hati
****

Tujuan itu

Telusur ulang untuk menceritakan
Dan mengambilnya sebagai penyeimbang catatan
Dan menyentuhnya sebagai penyangga identitas
Dan menyapanya sebagai pesinden matahati

Seperti biasa
Engkau adalah subyektivitas yang tak pernah berubah
Engkau adalah naluri yang melirik jalan-jalan pagiku
Engkau adalah cerita yang tak mampu diselesaikan sehari
Engkau adalah saksi yang menjelaskan hitam putihnya gambar

Seperti pagi ini
Jalan-jalan yang menuju pancuran air tidak pernah berubah
Jalan-jalan yang menuju titik akhir sama saja jalinannya
Jalan-jalan seputar halaman adalah irama yang tak berganti
Jalan-jalan menuju cerita tidak ada yang berkelir lain
****

Lintas, Lantas

Membuka hari dengan catatan penuh bahwa seharian ada di lintasan menuju sebuah perjumpaan identitas historis. Bahwa kemudian seharian jua ada di catatan yang membukukan ruang kelapangan agregat, adalah itu yang memberikan suntikan mengapa aku harus ada di sebuah arung yang bernama lintasan menepikan semua agenda. Karena kumpulan cerita yang hendak dimuntahkan adalah bagian dari aneka telusur untuk meyakinkan sebuah alinea yang menyatakan bahwa hati adalah bagian ari gregat yang hendak dijelajah ulang.

Lantas cerita semalam suntuk adalah penabuh yang memang hendak kudengarkan, sembari menahan penat setelah seharian memegang kemudi melintas batas dua provinsi yang menyapu ruang jalan. Kampung halaman adalah bungkusan yang meyambut dengan dinginnya malam menjelang puncak. Dan seruput secangkir kopi yang disuguhkan memberikan adrenalin tambahan untuk mendengar rajutan cerita yang disetarakan dengan mengambil makna untuk agenda yang menampilkan judul : Menjelajah Jahitan Diri.

Betapa kemudian kurasakan urang pandang yang menerawang melewati batas yang ada dalam bentang diri sejauh yang didapatkan. Bahwa ada yang menjadi kebanggaan ketika jahitan itu adalah manifestasi dari episentrum yang menyajikan halaman-halaman kekuatan nilai kekerabatan dan menyentuhknya dengan lagu cerita yang hidup di sisi telinga. Betapa aku merasakan bahwa kebanggaan adalah sebuah urutan yang mesti menjadi nomor utama dan dibingkaikan dengan sulaman yang menampilkan sosok diri untuk dikemaskan dalam kalimat tak bertanya : Oh jadi begitu jalan ceritanya ?.

Dan lintas tengah yang dijelajah dengan rute panjang Pbr-Bkn-Pspngr-Sbh, GnT, Spr sampai di sudut lembah yang ”begitu terus sepanjang penglihatan” adalah sajian yang memberikan nilai inspirasi baru bahwa jelajah adalah mengapai sebuah gengaman yang kembali dirajut, dijahit dengan benang simpul dan berupaya untuk membungkusnya dengan kalimat : Betapa kehormatan adalah seremoni yang terus dipergelarkan dan menjadi bukti kehormatan keluarga besar. Duhai betapa aku ingin menjadikannya sebuah buku cerita.

****
Ketika Harus Terlantar

Ketika harus terlantar di sebuah bandara nomor wahid di negeri ini, ketika harus menggapai informasi untuk mengapa dan mengapa, ketika sentuhan pelayanan dan kumuhnya sebuah airport ibukota menjadi titik singgung yang dikunyah. Maka apalagi yang bisa menjadikan nilai bangga pada definisi pelayanan selain etika kesemrawutan yang dikedepankan. Dan jarak pandang yang terakumulasi adalah betapa buruknya kalimat yang harus dibawa sebagai kesan ketika menyaksikan bunda harus bersila di lantai untuk menunggu lanjutan yang harus ditempuh sekali jalan. Bukankah keterlambatan ini karena jangkauan yang tidak mampu digenggam sepenuhnya manakala sebuah keberangkatan harus delay terlalu lama. Dan dampaknya tidak pernah dijelaskan selain meyampaikan permohonan maaf. Dan sesungguhnya pencitraan itu dibangun oleh mekanisme sistem yang mestinya dinyatakan sebagai penyangga utama untuk nilai pelayanan. Tetapi begitulah, sampai akhirnya harus berganti maskapai tetap saja ada rasa yang belum pas untuk dituntaskan. Bahwa kita memang masih amatiran.

****

No comments: