Monday, March 20, 2006

Catatan Argo Anggrek

Angin Maya

Jalan-jalan imajiner membawa pada bingkai pengharapan sebesar tiang penyangga jalan tol, besar nian pengharapan yang terakumulasi (tanpa sedikit penyusutan) sekedar membandingkan maya dan nyata. Iringan melodi lembut menyentuh gendang telinga, sesuatu yang hampir terlupakan bahwa ada yang idle untuk dinikmati bersama mata maya, mata yang menerawang, mata yang letih untuk membicarakan horizon.

Lantas terminal mana yang harus disinggahi untuk mementaskan cerita yang sudah digelorakan pada angin maya, sampai berhembus menyibak kain sutra yang bernama penyeberangan. Apakah kepantasan peran itu masih harus dibakukan pada standar statis yang mengedepankan monolog belaka, atau memang sudah berada pada penyisihan yang teranulir oleh arogansi berwajah elang yang tak mau lagi menampilkan huruf berbentuk lisan formalitas.

Bungkusan selalu menyemarakkan senyuman, namun tidak memberikan asesoris nilai yang (seharusnya) menjadi tolok ukur kinerja. Kebijakan nilai berada pada ruang kesempatan yang sekarang menjadi definisi menurut versinya, tetapi tidak bagi standar dan norma. Baju yang dipakai mencerminkan kewibawaan peran yang dapat melontarkan argumentasi atas nama mentang-mentang, padahal angin maya mentertawakan dan membisikkan lewat rayuan semilirnya, katanya :

“Tak perlu kau risaukan apa yang diseberangkan oleh perahu ketinting itu karena arus sungai ke hilir lebih memberikan kejelasan sikap bahwa air akan selalu mengalir ke tempat yang rendah, kemudian diterbangkan angin, kemudian diturunkan lagi dan mengalir lagi, dan mengalir lagi. Kalaupun mata elangnya tidak membawa kesejukan itulah bagian dari cerita yang telah kau ceritakan pada angin maya bahwa konsistensi tidak perlu diutarakan melalui derasnya badai namun hanya menuliskan pada selembar kertas putih dan berbaris-baris. Nilainya akan membeningkan telaga hati karena muaranya adalah pencucian baju yang dipakai itu”.

Buasnya permainan peran yang dikedepankan melalui pengusungan keranda atas nama peran, semakin menguatkan harga nominal untuk lebih baik menontonnya melalui Animal Planet, kesungguhan yang dipentaskan adalah mencuci bersih nilai kain putih sampai habis warna putihnya. Lantas dimanakah warna putih harus ditempatkan jikalau warnanya pun tidak putih lagi dan bahkan tidak jelas berwarna apa. Liarnya karantina lakon mentertawakan nadi hati yang telah dibisiki angin maya tadi karena kesimpulannya adalah memformatkan jalan-jalan imajiner ke dalam instalasi empedu hati, pahit, pekat namun masih memiliki celah cahaya.

*****

HATI
HATI-HATI

Suara landai itu justru seperti tusukan duri landak, memacu adrenalin sampai ke puncak keletihan yang luarbiasa genggamannya. Pada titik itu televisi pun jadi terlihat hitam putih dan bergaris-garis kasar. Garis kasar itu menggelora melampiaskan tawaran kenistaan dan memaku pintu nurani sehingga tidak berani lagi menggedor keteduhan. Putaran jam sudah berkali-kali melakukan rotasi rutinnya dan menyumbat senyum walaupun sudah didiscount tujuhpuluh persen.

Apakah permulaan menjadi lebih penting ketika kita telah terlanjur terjebak dalam ring pemantauan yang saling mengucilkan. Tetapi baiklah ditelurkan saja dengan testimoni kebeningan hati dan mempertontonkan opini yang sebenarnya. Suara penyaringan mempertegas kembali bahwa kedengkian yang dilontarkan adalah dalam rangka menebalkan garis batas keangkuhan untuk menebalkan kata TER dalam kuku cengkeramannya.

Tutur kata tidak menjamin maksud hati yang sebenarnya dan itu mampu dibungkus dengan permen rasa manis, yang akhir rasanya menciutkan lidah pemati rasa. Sesungguhnya penilaian terdalam adalah memastikan adanya sebongkah kerikil yang bernama iri bersemayam dan belum mampu dieramkan menjadi noktah koreksi diri.

Tuhan mempersaksikannya, dan Dia tidak diam tetapi tidak pula tampil terang-terangan mematahkan argumen. Keperkasaan tidak perlu diucapkan dan dipertontonkan, cukuplah ia diselipkan pada kancing baju hati untuk menjadi penutup luka yang memedihkannya. Sementara lakon yang dibentuk untuk membuat angin yang dapat menggoyahkan sinar mata simpatik terus menerus diperdagangkan, semakin jelas arahnya tetapi sampai saat ini belum mampu menegaskan cerita yang sudah terlanjur dimuntahkan.

Hati adalah bongkahan
Hati adalah gumpalan
Hati-hati adalah lakon bibit ketenangan nurani
Hati, berhati-hati dan hati-hatilah
Kezaliman yang dipromosikan tidak akan mampu menembus ritual vertikal , memberikan pagar perlindungan, menghancurkan argumentasi TER.

*****

AWAN

Sisi pemaknaan lain kita adalah mencoba menimba awan yang memimpin hujan untuk membasahi bumi hati kita. Seperti yang terjadi semalaman ini dan berlanjut sampai menjelang sore, rahmat itu menghijaukan tetumbuhan yang sudah kebasahan dan berwarna hijau. Ketika kita berada diatas awan itu pemaknaan sisi lain kembali menghadang alam pikir bahwa sesungguhnya kriteria yang distandarisir logika belum mampu menghadapi penyebab awal mengapa harus ada awan yang menjatuhkan hujan. Mengapa tidak hujan itu saja yang mengaliri nadi-nadi kehidupan tanpa harus berproses seperti yang ada dalam ilmu Fisika.

Itulah pemaknaan yang dapat dijawab dengan kesementaraan peran (dan sebenarnya hanya menoleh sesaat ) yang saat ini kita hadapi, bahwa sunatullah tidak menyombongkan bukti kepemilikan sejati. Bahwa kepemilikan dalam kemutlakan yang akte pendiriannya tidak pernah dapat tercapai oleh akal budi membawa logika kehidupan yang mestinya dapat kita maknakan dengan penampilan diri yang tahu diri. Bahwa mengapa awan harus menggantungkan diri untuk sekian ribu meter (bukan sekian meter saja) dan bersusah payah kembali menebar hujan kebeningan, itulah makna sesungguhnya proses penciptaan yang kita pun tidak dapat memperbaharui atau bahkan menciptakannya.

Lantas mengapa hati kita harus pula berawan menyaksikan pengorbanan awan kepada ummat yang demikian tanpa pamrih. Bukankah hati kita adalah barometer yang membawa nilai insani sejati dan yang membedakan kita dengan golongan yang hanya membawa insting belaka. Perlawanan itu yang membawa suara beda dan gelombang pemaknaan untuk menjadi eviden perjalanan dan pertanyaan pertama ketika kita menyilang perbatasan yang menembus ruang waktu.

Pandangan terluas yang dapat dinilai dengan egosentris hati berawan adalah mempersoalkan definisi yang menjadi catatan pribadi dan melontarkannya sebagai debu, menjadi angin kemudian menggumpalkannya di sel awan. Kabar yang turun dari titik air menjawab kejelasan akibat, bahwa asosiasi peran yang diinginkan adalah menampilkan sosok diri yang bersih dari cela padahal awan sudah mentertawakannya.

*****

No comments: