Wednesday, May 02, 2007

Dua Lukisan

Sembari menelusuri koridor Rs Elsb yang panjang ketika menjenguk handaitolan yang mesti rawat inap Rabu sore ini, si sulung nan cantik, setelah kujemput dari sekolahnya yag megah itu, dengan manja menggamit lenganku dan (biasanya begitu kalau ada maunya) : Pa, Adiss pengen pizza loh, boleh kan Pa, udah lama loh kita gak ngunjungi pizza, katanya. Kujawab saja dengan plesetan, ntar kita beli saja pizzang 2 sisir, tuh didepan banyak dijual. Dan jawabanku yang seenaknya itu bikin putri sulungku cemberut sesaat. Memang adatnya begitu, manja, selalu pengen begini pengen begitu

Sebenarnya permintaan Adiss gak muluk-muluk kok Pa, Adiss pengen banget punya Jazz, katanya, juga seeenaknya. Kujawab sambil merangkulnya, Iya doakan saja, semuanya kan untuk ananda, untuk keluarga, semoga rezeki kita melimpah ya Diss. Begitulah Adiss, yang manja, selalu ingin dekat denganku, selalu ingin didengar kalimatnya, selalu ingin dipenuhi permintaannya. Dan sepanjang koridor itu kurangkul dia yang masih berseragam sekolah, dan kita ngomong apa saja yang menyenangkan.

Si sulung ini adalah panorama keindahan yang memberikan kedekatan bathin, kedekatan emosional dan sekaligus pemberi semangatku dalam aktivitas. Begitu dalamnya kontak bathin itu padanya sehingga selalu memberikan apresisasi pada sejumlah harapan, doa dan nuansa. Jujur kuakui bahwa nilai kasih sayangku padanya menempati nilai stimulan yang mampu memberikan motivasi padaku untuk selalu berada di semangat diri, dan mengevaluasinya based on kedekatan itu sendiri. Sementara untuk si ragil, kedekatanku padanya justru untuk memberikannya motivasi, semangat dan pendorong. Ines adalah profilku sendiri, ejawantah dari tampilanku, banyak hal yang harus dijelaskan untuk jalannya, dia banyak tanya, dia pengen banyak tahu, suka gand prix, suka sepakbola, tomboy dan juga sangat manja padaku.

Dua buah hatiku adalah jalinan kasih yang menjalar pada jalan-jalan nurani, keduanya adalah signifikansi yang menjelaskan eksitensi diri, bahwa di jalan yang kudapat saat ini, segumpal pemicu untuk tetap ada di keraton asa adalah memeluk kemanjaan mereka dan menatanya di keraton hatiku.

******

Sudah hampir tujuan, hanya tinggal dua kelokan lagi, sekitar 2 kilometer dengan tanjakan curam, namun hanya sampai disitu saja ketika inova sudah gak mampu lagi meneruskan dan terjebak tanah basah dan Lumpur. Coba dorong untuk membebaskannya tapi justru pakaian tersiram Lumpur dan jadilah seperti off road yang harus mengakui kehebatan alam. Maka traveling dinas Selasa ini adalah yang paling “berkesan” ketika harus turun, menjelajah mendaki, mendorong dan gagal mencapai bukit pringamba yang terjal namun menawan itu.

Tapi tetap saja kunikmati lukisan alam nan hijau segar ini, kupandangi dengan sepuas hati pucuk-pucuk pinus dan holtikultura lainnya, aku berjalan, menjelajah lembah dan perbukitan, mengapresiasikan sudut pandang kebesaran, lukisan alam yang terbentang luas, adalah sebuah pembuktian betapa sebenarnya sebuah karya cipta tidak mampu dijelaskan dengan ruang rasio sebatas ilmu. Semakin jauh terawang itu, semakin jelas view yang kuperoleh, bahwa nilai eksistensi adalah kemampuan untuk membaca diri, mengaca diri dan membandingkan betapa tidak berartinya kekuatan diri untuk disetarakan dengan dengan fenomena yang dibuktikan dengan view hati nurani.

(Thanks to Dw, sepatah dua kata yang terlontar adalah aneka hasrat yang dijelaskan dengan semangat untuk memberikan nilai cerita pada sejumlah hari, ketika sudah lama kita tak bercakap-cakap).

(Thanks to Yn, selalu ada yang baru untuk dikabarkan dan sukses deh dengan reuninya, tapi kok gak ngabarin ya, padahal sudah ada di depan mata loh).

******

No comments: