Wednesday, August 15, 2007

Seremoni, Puisi, Arif

Seremoni adalah tampilan performansi, seremoni adalah testimoni yang dikumandangkan, seremoni adalah karnaval yang ditonton banyak orang, seremoni adalah upacara penganugerahan yang dipastikan akan menjadi titik penting pada sebuah kubah. Ya kubah penceritaan yang berwujud kesenangan, kegembiraan dan benderangnya suasana.

Karnaval kota Rabu siang nan terik ini sengaja kutonton, berbaris di jalan yang dilalui konvoy. Ada senyum, ada gairah, ada tawa, ada bunga dirangkai, ada tepuk tangan, ada yang menyentuh, ada yang menghampiri. Semuanya bercampur dalam riangnya suasana seremoni. Ya hanya seremoni, hanya ungkapan tanpa menyentuh ruang nadi, hanya ucapan tanpa membawa sanubari.

Sama saja dengan orang yang hobbynya berjabat tangan namun perilaku tidak mencerminkan kesejatian pertemanan atau persaudaraan. Sama saja dengan orang yang bermental banci, hanya bisa mengintrovetisasi dirinya sebagai patung tanpa ekspresi. Sama saja dengan orang yang hobbynya ngomong, ngatur, nglantur, gak fokus, mirip penyakit autis, dan bermental iri. Kalau ngomong pinter ngatur ritme padahal kebusukan hatinya sudah menjadi stadium empat kronis.

Seremoni, ditampilkan dalam lipstick berganti wajah, pura-pura baik padahal tidak lebih dari tirai yang menutupi kebusukan diri. Ya semoga saja aku terhindar dari penyakit bathin ini, aku ingin yang polos-polos saja, seirama, seiring sejalan antara suasana dan cuaca, antara hati dan ucapan, antara matahari dan matahati.
*****
Ada yang hangat bersemangat ketika ananda minta dibuatkan beberapa bait puisi kemerdekaan untuk dibacakan di sekolahnya. Kubuatkan dan kusiapkan serta kusempatkan melatihnya untuk membaca dengan ekspressi full hati dan full sentuhan. Dengan iringan musik instrumental, dicoba dan dicoba melantunkannya dengan semangat membakar. Dia ternyata mampu, berbakat dan kuyakinkan kembali agar dapat mempertahankan ritmenya. Si Ragil memeluk manja.

Kesibukan juga terasa, ketika ruang rumah menjadi markas untuk persiapan tujuhbelasan, maklum itu kesepakatan warga, menyajikan setumpuk hadiah yang telah diperlombakan Ahad kemarin sekalian rembug tentang anatomi pelaksanaannya. Ya semuanya mempersiapkan, lingkungan berseri dan bernyala merah putih, warga bergiat bersama, kompak bersama dan memastikan kebersamaan itu dengan semangat menuangkan merah putih pada niat tafakkur itu.
****
(Ya hasilnya memang ada yang harus dikurangi, hasil GCU Selasa ini, setidaknya melihat raport diri sejauh mana nilai yang didapat sekalian memastikan niat untuk mengurangi menu yang menjadi penyubur tiga nilai waspada itu).
(Belum selesai memang namun kuyakin pada Sabtu ini semuanya dapat terselesaikan setidaknya bisa ditampilkan. Ya sibuk juga tapi berbagai langkah hari ini setidaknya ingin memastikan tahapan-tahapan langkah itu).
****

Sebuah tulisan Hasan Al Banna di kalender Senin yang bermakna dalam itu :

Dunia membutuhkan dakwah dan apa yang ada di dunia ini telah menyediakan jalan dakwah. Alhamdulillah kami bebas dari kerakusan pribadi dan jauh dari keinginan untuk memperoleh keuntungan materi. Yang menjadi tujuan kami adalah keridhaan Allah dan kebaikan manusia. Kami selalu menanti bantuan dan pertolongan Allah. Dan barang siapa diberi pertolongan oleh Allah maka tidak ada yang dapat mengalahkannya.

Sementara definisi seorang arif bijak kusimak dengan jernih :

Bekerjalah seoptimal mungkin sebab bekerja dapat menenteramkan hati, mendorong kemajuan, sebagai tempat pelarian, sebagai tempat pelatihan untuk peningkatan dan juga suatu hiburan.

(Perenungan dengan membaca alam pikir dan akal budi yang dicetak oleh kearifan pengalaman perlu disemayamkan sebagai referensi untuk bekal di jalan raya tata etika dan memastikan diri berada di posisi mana sekaligus mengingatkan tentang adanya rambu dan marka yang harus dipeluk hangat).
*****

No comments: