Monday, August 06, 2007

Tulisan Itu

Sebuah Tulisan yang mendapat applaus;

Corporate Negaholic
Apakah Inkubasinya Ada Di Sekitar Kita

Oleh : Jagarin Pane

Dunia perkantoran di perusahaan bisnis bisa disebut sebagai pertemuan interaksi karyawan baik yang berlabel manajemen atau staf dalam rangka membangun menara kinerja yang sudah tentu berorientasi bisnis. Interaksi proses bekerja itu persentase standar dominannya adalah menyebarkan formalitas transformasi komunikasi atas bawah dan kiri kanan. Nilai kultur yang menjembatani beragam peran yang diambil adalah menghangatkan komunikasi informal sebagai simpul figuran yang sekaligus menjadi oli bahasa tata krama.

Di keseharian hari kerja sebuah unit bisnis, terekam fragmen fenomena penjelmaan yang membalikkan standar keharusan tadi (yang seharusnya menjadi faktor dominan), dengan lebih mengembangkan wacana, etika dan sikap yang sama sekali tidak memberikan kontribusi pertambahan nilai kinerja apalagi nilai bisnis. Bahasa terang-terangannya kira-kira begini : Komunikasi informal yang cenderung merajai keseharian jam kerja tidak lagi menjadi oli tata krama bahasa gaul namun sudah menjurus ke halte yang bernama definisi subyektivitas keakuan yang merasa bangga dengan perannya, merasa angkuh dengan pendapatnya dan mengobral informasi yang tidak jelas kantor beritanya atau bahkan merasa menjadi kantor berita.

Di level manajemen dalam konteks berbagi struktur peran, tugas-tugas itu masih dapat bertahan di koridornya dan mudah-mudahan dapat terus bertahan. Namun di level dibawahnya, basis pertahanan itu sudah rubuh di beberapa tempat bersamaan dengan bertunasnya ego sektoral dan mengaku menjadi aktor dominan dalam peran tugasnya. Walaupun masih banyak manager dan karyawan yang berperan sesuai arahan sutradara namun kelakuan segelintir oknum itu memberikan kesan adanya disfungsi tugas dan indikasi terjebak dalam apa yang disebut Corporate Negaholic.

Corporate Negaholic adalah sebuah penyakit di perusahaan yang dapat memasuki kehidupan para karyawan dan pimpinannya. Menurut Cherie Carter-Scott penulis buku Corporate Negaholic, virus penyakit ini ada dimana-mana, di bagian administrasi, akuntansi, human resources atau bahkan di front liner yang berhubungan langsung dengan pelanggan. Mereka bisa saja manager, karyawan atau pimpinan kantor. Cherie Carter-Scott menggunakan kata negaholisme untuk menggambarkan kondisi yang mungkin timbul secara sistematis dalam suatu perusahaan baik secara departemen maupun secara perorangan.

Ciri-ciri perusahaan dan atau kantor yang terinkubasi tunas Corporate Negaholic antara lain keinginan untuk mempertahankan jabatan dan bukan memenuhi misi dan tujuan perusahaan. Sifat pribadi yang suka memaksakan, mengobral informasi dan bermental kuli, maksudnya kalau ada pimpinan rajin sampai jam kerja usai namun kalau tak ada pimpinan ikut keluyuran juga. Tanda yang lain adalah karyawan lebih suka menghakimi rekan sekerja, sistem manajemen yang berlaku, daripada melakukan sesuatu yang berguna misalnya menyumbang saran penyelesaian.

Secara individual struktur Corporate Negaholic dibedakan atas empat jenis yaitu sikap, perilaku, mental dan verbal. Dari sudut pandang antar departemen penyakit ini disebut negaholisme situasional. Masing-masing dan atau keduanya dapat membangkitkan virus corporate negaholic secara cepat dan menyebar ke semua lini interkoneksi komunikasi, informasi dan solusi. Dari titik personal penyakit ini berlaku untuk pribadi apatis dan egois sekaligus autis, merasa paling pintar serta mau menang sendiri.

Hirarki kewenangan yang teradopsi dalam struktur organisasi sebenarnya merupakan rangka yang jelas untuk mengembangkan pola komunikasi yang terukur, terarah dan konsisten. Struktur merupakan konsep pragmatis yang menjelaskan kepada setiap karyawan bahwa proses bisnis berada di seputar kawasan itu. Oleh sebab itu praktisnya pula setiap karyawan dapat selalu mengambil peran yang berada pada garis komando yang bernama job desription.

Tetapi begitulah teorinya, struktur atau bangunan apapun dapat menjadi ajang perdebatan pola kewenangan dan dikalahkan oleh kultur yang mengedepankan egoisme pribadi, ego sektoral dan naluri non intelektual. Dalam pandangan ini tunas egoisme ini masih berada pada tahap inkubasi embrio, namun pernyataan sikap nominal perlu dikedepankan agar paling tidak sebagai bentuk dialog imajiner pada diri masing-masing termasuk yang tidak terkena imbas indikasi inkubasi corporate negaholic.

Apa raut wajah yang terindikasi penyakit corporate negaholic di sebuah kantor? Bisa disebutkan disini antara lain iri melihat keberuntungan karyawan lain, senang mencela orang lain, senang menghalangi sukses rekan sekerja. Suka menyalahkan kondisi kerja, merasa paling pantas untuk tampil sebagai aktor keberhasilan proses kerja, menjadi pemain sinetron yang menjadi tokoh antagonis, penyebar isyu, menghancurkan motivasi kerja, melakukan pembunuhan karakter dan merasa menentukan nasib karir karyawan.

Negaholisme situasional atau antar departemen dapat dilihat dari kondisi seperti terlalu banyak memikirkan sebab, alasan dan penjelasan masalah dibanding mencari solusinya. Kemudian sering tidak konsisten dalam menetapkan tujuan, strategi dan prosedur. Perdebatan dalam rapat antar departemen dengan proteksi diri yang melempar kesalahan, dan waktu yang senantiasa tidak pernah tepat waktu meyakinkan kita bahwa telah terjadi sengatan virus autis yang menghambat nilai kinerja bisnis. Setiap departemen saling berbeda dan berselisih paham tentang tujuan yang akan dicapai. Yang paling parah adalah setiap departemen merasa yang TER ( terpenting, terhebat, terpintar ).

Rentang kendali dalam proses kerja setidaknya dapat menjelaskan apakah prosesi rutinitas kerja telah dijangkiti bakteri corporate negaholic. Cherie Carter-Scott mengambil satu contoh pada sebuah perusahaan yang mengidap virus ini yaitu terlukisnya sikap arogansi dalam berkomunikasi antara karyawan Kantor Pusat dengan karyawan Kantor Cabangnya. Sebagai pemegang kendali kebijakan, patron itu sering digunakan sebagai kalimat akhir ketika terjadi kebuntuan implementasi dengan regulasi yang sudah dianggap kuno oleh aparat Kantor Cabang. “Pokoknya itu aturannya”, kata karyawan bermental birokrat, padahal Kantor Pusat lebih sering ketinggalan kereta dalam membuat aturan.

Lukisan lainnya adalah pemberatan cost ketika awak birokrat tadi berkunjung ke Cabangnya dengan meminta jamuan tamu yang melebihi batas-batas nilai silaturahim atau memang sengaja berkolusi dengan segelintir orang di Kantor Cabang agar programnya selesai secara harfiah. Semua ini terjadi karena rentang kendali belum maksimal dijalankan dan hanya berdasarkan laporan satu arah tanpa melakukan konfirmasi ulang tentang cerita yang sebenarnya terjadi.

Dalam kitab kuno Wulangreh karya Sri Paku Buwono IV jelas disebutkan bahwa penghormatan kepada sesorang bukan karena jabatannya melainkan oleh sikap dan perilakunya. Dalam struktur interaksi kerja yang sudah memiliki role statement, job description, kompetensi dan kinerja, masih sangat diperlukan budi pekerti untuk melumasi mesin-mesin yang “sedang berfungsi”.

Lumuran budi pekerti itu adalah selalu memperhatikan dan mempertimbangkan segala sesuatu sebelum bertindak, berkomunikasi dan berdiskusi, kemudian ikut pula dipertimbangkan hal-hal yang baik sebelum mengerjakannya sembari memikirkan sesuatu secara serius dan mendalam. Budi pekerti adalah tampilan display yang dengannya kita berupaya membungkus dan menghiden egois pribadi dan egois sektoral, setidaknya meminimalkannya.

Obat mujarab untuk menghambat pertunasan egoisme yang berlabel kebanggan diri dan kekuasaan, sederhana sekali dan karena ini menyangkut kultur yang mengemas struktur, maka tidak salah juga kita simak pembukuan kultur nenek moyang dengan membaca lagi kitab-kitab kuno yang terjamin prosesi kebijaksanaannya. Kebenaran dan kesalahan, keberuntungan dan kerugian, kebaikan dan keburukan semuanya berasal dari perilaku kita sendiri. Pupuh Durma mengatakan dengan jelas : Ajining diri saka obahing lathi, seseorang itu dihargai karena ucapannya.

Warning Cherie Carter-Scott sengaja dikedepankan sebagai bagian dari evaluasi psikologi proses bisnis dengan harapan ada peluang untuk menyadarkan elemen human capital bahwa proses bisnis, proses bekerja dan proses interaksi tetap harus diberi baju yang bernama jahitan kebersamaan untuk memperoleh hasil yang optimal dengan mengedepankan nilai moral dan etika. Beragam peran dan hirarki yang telah dirumuskan melalui regulasi diharapkan mampu untuk dijalankan dengan keikhlasan mutlak. Dan membaca siar pandang dan pandang dengar interaksi diharapkan dengan kebeningan nurani sebagai bagian dari pencerahan cakrawala pola pikir.

Penitikberatan sudut pandang ini diharapkan dapat memberikan efek multiflier kearifan peran yang kita jalankan masing-masing. Tantangan bisnis di depan menunggu kecepatan dan percepatan proses bisnis dan kita tidak ingin dikalahkan oleh kecepatan dan percepatan itu, maka bergegaslah menyambut matahari pagi.
*****


No comments: