Thursday, August 31, 2006

Catatan Dibuang Sayang

Catatan Musabaqah

Benar, Attaya adalah asset mahal generasi penerus hifzil dan sekaligus kebanggaan ortunya yang ngganteng dan ayu itu. Tetapi bukan itu yang menjadi catatanku. Yang paling berkesan justru ketika Gadis kelas 2 SD itu mendatangiku manakala aku berada di karantina isolasi bersama peserta lain yang akan tampil pada hari kedua MAN. Kuhitung ada sebanyak 4 kali dia mendekatiku dan memelukku manja sembari mengatakan :Om tampil nomor berapa, apakah Om siap tampil katanya berulang. Dan kujawab lembut, nomor delapan dan tentu saja Om siap menjalankan amanah bernilai pahala itu. Ya Attaya adalah simbol pembinaan religi anak yang mampu memberikan suasana spirit bermusabaqah dan kekeluargaan yang cukup dalam. Ya harus kuakui bahwa event MAN ini mampu memberikan nilai silaturrahmi the best bersama rekan-rekan lain yang selalu tampil performa dan ceria. Lihat saja seorang Amien Subagio, lelaki berwajah tampan tanpa dosa itu selalu memberikan kalimat bening manakala menyampaikan jurnal harian dan evaluasi kepesertaan. Lalu ada Sri Akhadah yang selama latihan terlihat kurang pede namun setelah disuntik motivasi oleh pembimbing rohani yang berjiwa leader Ahmad Hanafi Zen mampu tampil diluar dugaan dan itulah performansi terbaik yang pernah kulihat dari seorang Sri yang ramah itu.

Ada lagi Kang Ade, lelaki tambun yang selalu tampil penuh senyum dan toleransi (maksudnya toleransi untuk merokok di ruang tersendiri gitu loh), aku banyak belajar tentang ketulusan dan kesediaan berbagi cerita. Dan aku juga bisa melihat betapa gugupnya dia manakala mau tampil sambil menghapal surat Al kahfi berkali-kali, tetapi semua itu adalah dalam rangka tampil habis-habisan di lomba religi ini. Suca Febrina, duh, aku sampai melompat kegirangan bersama rekan lain manakala remaja putri dari Palembang ini mampu menembus angka 2050 pada babak penyisihan, sebuah rekord pencapaian Fahmil terbaik (kata panitia). Sayang faktor lucky kurang berpihak pada final esoknya. Dan dia menangis, dan kami tertegun, merunduk manakala hasil akhir menempatkan dia sebagai juara harapan. Itulah sebuah perjuangan dan Suca telah memberikan yang terbaik bagi kafilahnya.

Abdul Ghofar Ismail, kuikuti dan kusimak ketika dia tampil di tilawah pukul 21.40. Lelaki sederhana bersorot mata tajam ini terlihat dari kaca akuarium pede banget dan ketika sampai pada sebuah ayat yang harus dilagukan tinggi, Gofar agak terengah-engah, dan ketika durasi menjelang lampu merah dia agak ragu akan meneruskan atau tidak, akhirnya tidak dan pas lampu merah dia selesaikan dengan sodaqolllahulazim, aku dan teman-teman sempat tertawa dengan lakon ini, soalnya ucapan itu seakan menunggu lampu merah menyala. Ternyata nilainya cukup bagus dan dapat dilihat di layar monitor saat itu juga. Alhamdulillah. Lalu bagaimana dengan Asep di Fahmil, pria berkumis tebal dan pendiam ini tampil dengan keyakinan yang pasti namun karena lawan dia yang di nomor A ( dari ESC) tampil lebih elegan akhirnya dengan sedikit insiden kekurang tanggapan juri dan penyaji, Asep harus puas dengan perolehannya, kalah di penyisihan.

Amalia, putri Djoko Purwadi yang doyan ngomong itu juga tampil lumayan di murottal. Setidaknya sikap cueknya yang khas itu memberikan medan pembelajaran yang baik sebagai modal dasar untuk berikutnya. Amalia atau Dede Kurniawan bin Hasudungan Tambunan adalah bagian dari pembelajaran untuk bisa tampil dengan suasana diri yang lebih meyakinkan. Lalu bagaimana dengan dua Khusnul. Ya Khusnul Rahmawati yang tampil di Fahmil agak grogi dan seakan kurang pemanasan sehingga akhirnya menyerah. Kalau yang satu lagi Khusnul Mufidah, paling tidak aku kenal sama keluarganya, habis dia boyong tuh bojonya yang ikut murottal, ibunya, anaknya yang masih infant itu, dan Indah yang tubuhnya jadi subur setelah menikah itu tampil cukup lumayan walau gak dapet sebutan juara.

Yang berkesan adalah diskusi dengan bang Iim yang asal Banten itu. Kedalaman cara pandangnya tentang aqidah memperkaya wawasanku disamping etika gaulnya yang santun dan berbau humor itu. Lalu Yusuf Zakaria yang serius banget ketika mencoba memanajemeni waktu tampil 15 menit latihan dakwah. Mirip official pelari sprint yang memberi tanda waktu sisa, tapi yang jelas membantu aku dalam kontrol waktu. Lain lagi dengan Mukhlis, mirip kondektur Bis yang mencatat nama dan jumlah penumpang ketika mau berangkat menuju suatu tempat, dan itu salah satu tugas mulianya loh. Tentang Budi Mei, agaknya reporter kita yang satu ini kelihatan sibuk banget jepret sana jepret sini untuk bahan publikasi di portal tapi kadang ada kadang hilang, kemana kamu fren.

Lalu ada Tiara, gadis manis imut-imut yang selalu tampil kalem tetapi jika sudah diajak ngomong lancar banget loh. Buktinya aku sempat ngobrol akrab dengannya dan ternyata banyak yang jealous, seperti si Husen, si Andy atau si Surya. Ya namanya juga ngobrol pasti harus deket kan, masak harus berjauhan ya jadinya berteriak dong ngomongnya. Lalu ada juga si Widia yang murah senyum itu. Rekanita yang satu ini selalu tampil dengan performansi yang enak dipandang, maklum kerjanya kan di Prandal jadi ya harus good performance gitu ya Wied.

Tentang Ramzy, aku harus menaruh hormat pada pria berdarah Aceh ini. Keseriusannya sebagai motor penggerak kafilah menjadikan kafilah yang dipimpin Suparman yang bijaksana dalam permusyawaratan perkafilahan itu menjadikan kafilah CISC sebagai kafilah terbaik dalam pengelolaan kontingennya. Sejauh yang kuamati kafilah ini adalah kafilah satu-satuya yang selalu melaksanakan sholat Jamaah Magrib dan Subuh, Kultum dan Tausiah dalam kebersamaan yang utuh. Luar biasa. Jazakumullahu khoiron katsiroo ya spesial buat Pakde Suparman dan Om Ramzy.

Begitulah, aku merasakan suasana silaturrahmi dan kekeluargaan yang indah nilainya dalam rangka fastabiqul khoirot sebagai kuntum khoiro ummah di kebersamaan selama sembilan hari di Yogya yang menawan itu. Banyak kelucuan yang kudapatkan ketika melihat Sugeng makan gak pernah selesai atau selalu memburu oleh-oleh yang seabrek-abrek itu. Kayaknya mau dijual lagi kalee di Jkt ya Fren. Ada juga lomba masak nasi goreng di kamar panitia, maklum apartemen dilengkapi dengan kitchen dan kelengkapannya. Kesabaran seorang Arsyad sang bendahara itu juga diuji ketika lagi bayar dinner together di rumah makan, ditnggal Bis dan Kijang. MasyaAllah, untung saja lelaki paruh baya itu langsung ambil inisiatif, panggil taksi langsung pulang ke home base Apartemen Sejahtera. Akhirnya aku hanya ingin katakan : kullu bani adama khottoun wa khoirul khotto ina ttawwabuun. Salam hormatku yang cukup dalam pada Al Mukarromah Haji Ahmad Hanafi Zen yang sejatinya adalah pilar penyangga semangat musabaqah bagi seluruh anggota kafilah. Secara de facto beliau adalah champion di musabaqah ini. Allahu Akbar.

Ya, nilai terbesar dan tak terbeli itu adalah kedekatan personal diantara sesama peserta dan panitia, menjadikan momen musabaqah memberikan nilai paling cantik di mata hatiku, bersama rekan, saling berjabat tangan dan berpelukan mengantarkan suasana silaturrahmi yang paling sejuk di hati. Terimakasihku pada Allah yang Rahman untuk jalan yang kudapatkan sampai di batas ini, berbagi rasa dan cerita bersama rekan kafilah, bersenda gurau, saling merapatkan barisan manakala satu anggota tampil bermusabaqah. Itulah rangkaian perjalanan ibadah dan tausiah yang mampu membeningkan suasana hati ini sampai ke kamar hati dimana titik G Spot bersinar terang benderang. Alhamdulillah ya Rahman.

No comments: