Monday, March 12, 2007

Ketika Langit Melukis Biru

Senandung tembang mengiringi detak dan detik, mengiringi ayunan dan helaan, membawanya ke langit cerah yang melukis biru. Sekelumit siar cakap mendentingkan suasana, mengabarkan rindu pada pada keteguhan alur, dan membawanya pada perahu yang bertuliskan : sampaikanlah pada halte terakhir yang ada di sudut siku, kabarkan pada semua persinggahan bahwa buih dan percikan adalah hempasan yang menyatakan keinginan.

Sejumlah aliena tidak pernah mengalir apalagi berbunyi menyatakan tema, karena ada bungkus keengganan untuk berlaku tutur dan mencoba bisu karena langit telah melukis biru. Cetusannya adalah riak air yang menuju rutinitas, melewati detak dan detik, melalui lalu lalang tanpa berkata, menyiapkan persimpangan yang dilalui setiap petang. Aku menikmati lukisan biru, lukisan langit dan lebih berkata nyaring padanya, pada keluasan, pada keniscayaan, pada kepuasan, pada pengakuan, ketimbang melukis di pasir pantai, ketika ombak datang, sirnalah ungkapan hati, ungkapan suka, ungkapan cinta.

Lukisan langit adalah pengakuan tentang eksistensi, lukisan langit adalah pengumuman tentang harmoni, lukisan langit adalah penjelasan tentang keluasan dan keleluasaan pandang, pandang mata, pandang hati. Ya pandang hatiku, ya sinar hatiku yang mampu menjelaskan pada sejumlah kisah untuk dipersaksikan pada lukisan langit. Pengumuman itu adalah semburat rasa yang membuncah dan mengantarkan figura pernyataan untuk dilepaskan dan dilontarkan pada persamaan bait dan syair lagu.

Sembari menikmati keindahan biru langit, kusimak dan kusemai lirik-lirik lagu yang mampu menggetarkan ruang hati dan menikmatinya di kesendirian keteduhan, karena aku ingin membirukan hatiku dengan getar nada dan mempersandingkannya dengan persamaan hati. Sebuah Senin yang membeningkan, sebuah hari yang mengantarkan, sebuah saat yang menggetarkan.

****

No comments: