Thursday, January 25, 2007

Duhai

“Mengapa jalan yang kutapaki ini tidak seperti pemilik sepatu yang lain”, katamu membuka dialog.
“Aku memahami keinginan aktualisasimu itu, yang selalu mencoba mencari harapan dibalik awan”, kataku.
“Ya, bukankah sepenggal kisah perjalanan adalah mencoba menapaki anak tangga menuju bukit hijau kesegaran”, katamu.
“Itulah asamu, itulah titianmu yang selalu ada dalam genggaman, antara hasrat, damba dan ingin. Tetapi bukankah perjalanan ini bukan milik kita seutuhnya. Bukankah perjalanan ini bukan hak kita selengkapnya. Bukankah yang seharusnya dan yang senyatanya adalah deviasi yang memberikan makna bahwa keinginan bukanlah menjemput tamu di bandara atau mengantar kekasih di batas kota”, kataku.
“Kadang aku merasa seperti mengejar burung merpati, dan mendapat tepuk tangan atas ketidakberhasilan menggapainya, menggapai pelangi warna dan memeluk fatamorgana. Aku merasa seperti tak punya apa-apa. Aku merasa seperti tak bermakna apa-apa. Aku merasa seperti bukan siapa-siapa. Aku adalah tiik singgung yang tak pernah dijawab. Aku adalah titik nadir yang tak pernah dilirik. Aku adalah sudut pandang yang tak terpandang. Aku adalah bulan dibalut awan. Aku adalah sketsa tanpa lukisan..”, katamu
“Duhai, bukankah jalan itu adalah catatan kisah terkasih yang kita maknai bersama, kita jalani bersama, kita arungi bersama. Duhai, bukankah perolehan nilai didapat dari pemaknaan jalan pikir, bukan pada semata jalan ingin. Bukankah nilai terbesar yang disebar pada setiap sudut pandang adalah mencoba memberi arti pada tema takdir yang telah dipesonakan pada setiap kamar hati. Duhai, betapa indahnya naluri kepemilikan yang dipinjamkanNya kepada kita, yang kita lakoni, yang kita jalani, yang kita wayangi dengan semangat menikmati jalan takdir. Bukankah pemilik sepatu yang lain adalah gulungan tema tentang perbandingan, tentang komparasi, tentang niat ikhlas, tentang rasa syukur, tentang beda jalan. Bukankah cipta itu adalah diferensiasi pada apa yang disebut sinar pandang”, kataku.
“Ya, ya, setidaknya hari ini aku dapat memahami sebuah makna bahwa ritme jalan yang kudapati adalah menafsirkan takdir menjadi catatan pelangi untuk sebuah anak tangga dan pemilik sepatu yang lain,” katamu sembari memelukku hangat. Aku berkaca-kaca.
****

No comments: