Saturday, April 07, 2007

Weekend Letter

Ketertinggalan itu berupaya aku kejar dengan memacu segenap bangun semangat untuk berupaya menuntaskannya. Berbagai halaman kucerna, kuapresiasikan dengan membandingkannya pada sejumlah referensi lantas mengadunya dengan pembuktian yang terdepan. Hasilnya menurutku belum memuaskan karena konten yang kucari ukurannya itu belumlah klop di ruang rasioku.

Maka aku ulangi lagi dengan mengadopsinya pada setiap judul, membandingkannya dengan sejumlah barisan yang sudah jadi, berupaya mengambil titik simpul dan mengutarakannya pada sejuumlah alinea. Begitu yang kusikapi ketika seluruh hari Sabtu ku isi dengan mengalirkan kaitan tema yang sudah kupegang sejak sebulan terakhir.

Aku lupakan semua yang menjadi cerita asesories, kalaupun ada prioritasnya adalah pada urutan selain pertama. Aku mandikan rasioku sebenar-benar cahaya untuk benderangkan kembali yang tertinggal. Aku ingin menyetarakan kembali dan kalau boleh kembali ke predikat cum laude seperti yang selama ini kuraih.

Sementara tekad untuk tampil di eksternal sudah pula menari, tinggal tunggu gongnya dan moga-moga berjalan lancar. Setitik sinar adalah bagian dari prioritas yang menggunung untuk segera kuraih dan kupeluk.

*****
Kesedihan itu tidak harus dinominalkan pada kesetaraan bernilai sendu atau rintik hujan menggenang hati. Bahwa ada keistimewaan pada logika yang terjadi ketika announcement menyiarkan kuota bukan untuk diri, maka gores garis adalah coretan yang mampu melukis sendu membungkus satire.

Sembari mengetuk pintu resort, pertanyaan yang menggelembung adalah apakah kriteria menjadi pemutus jalur yang menuju ka arah harapan. Maka secara elegi kuubah saja pertanyaan itu menjadi pernyataan bahwa nilai bukanlah persepsi milik pribadi namun diukur dari kepantasan peran pada lingkaran bersudut simpul, terlepas dari hakekat kejernihan yang dimiliki.

Maka alinea berikutnya adalah mencoba mengukur nilai, bahwa kepastian tentang senyum bukan berarti persetujuan, bahwa nilai intrinsik tidak harus digelar pada derajat kemerdekaan diri. Orang boleh saja menilai tetapi ukurannya adalah tingkat kejernihan cara pandang, bukan telunjuk lurus kelingking berkait. Tutur sapa tidak selalu sama dengan tutur hati apalagi kalau sudah disirami dengan bumbu dengki dan iri. Tetapi aku juga yakin bahwa revenge nya tetap tercatat dan akan jadi bagian karma pada sebuah saat.
(Epilog Jumat)
*****


No comments: